KBR68H, Jakarta - Setiap tahun pemerintah pusat menggelontorkan Rp 600 triliun ke tiap daerah. Namun dana sebesar itu belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan di daerah.
Padahal dana itu sudah dilengkapi dengan 34 penyerahan kewenangan berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, tambang, sejumlah jenis pungutan pajak dan lain-lain.
Kementerian Dalam Negeri mengakui ada kemunduran dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini terlihat dari indeks pembangunan manusia yang tidak meningkat secara signifikan, malah ada kecenderungan turun. Lalu tingkat kematian bayi di banyak tempat naik. Masalah air minum juga belum teratasi
Kementerian Dalam Negeri kini berusaha menata kembali mekanisme pelaksanaan otonomi daerah. Termasuk saat memilih kepala daerah, agar efisien tapi tak menghilangkan unsur demokrasi.
Sejalan dengan peringatan HUT Otonomi Daerah, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengingatkan daerah agar pemilu parlemen dan pemilu kepala daerah dilakukan serius untuk menghasilkan pemerintahan daerah yang baik agar bisa menghasilkan tata kelola yang baik.
Selama ini, menurut Gamawan, tata kelola daerah masih buruk karena besarnya kepentingan politik. Mendagri mencontohkan sering terjadinya bongkar pasang pejabat-pejabat teknis di daerah oleh kepala daerah sebagai salah satu bentuk dampak pilkada yang penuh kepentingan politik. Akibatnya pejabat teknis tidak profesional.
“Aparat daerah kan tidak boleh terlibat politik praktis, tapi yang terjadi sebaliknya,” kata Gamawan
Kepentingan politik juga menyebabkan tersedotnya dana untuk daerah untuk kepentingan penguasa.
Sementara, Direktur Jendral Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menyebut Pembangunan dan pelayanan publik di daerah semakin tidak kebagian jatah dana, karena di banyak daerah alokasi APBD justru digunakan untuk membayar gaji pegawai.