NASIONAL

Estu Fanani: Perempuan Jadi

Estu Fanani: Perempuan Jadi

KBR68H, Jakarta – Tahukah Anda ada berapa banyak peraturan di Indonesia yang diskriminatif terhadap perempuan? 


Sampai tahun 2013, Komnas Perempuan mencatat ada 342 Perda yang diskriminatif. Dan ini artinya ada peningkatan, dari 282 pada tahun sebelumnya. 


Sebanyak 265 di antaranya berupa kebijakan diskriminatif yang menyasar kepada perempuan atas nama agama dan moralitas. Sementara itu 76  kebijakan mengatur cara berpakaian, dengan mengacu pada pandangan agama mayoritas di daerah tersebut. Ada juga 124 kebijakan yang keluar soal prostitusi dan pornografi. 


Ini masih harus ditambah dengan 27 kebijakan pemisahan ruang publik untuk laki-laki dan perempuan, lagi-lagi dengan memakai alasan moralitas. 19 aturan di antaranya menggunakan istilah “mesum” dan ada 35 kebijakan yang membatasi perempuan untuk keluar malam. 


Konvensi utama internasional hak asasi manusia yang khusus soal perempuan adalah CEDAW atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, atau konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini sejak 30 tahun lalu. Di Indonesia, pelaksanaan CEDAW dipantau oleh CEDAW Working Group Indonesia (CWGI). 


Koordinator  CWGI Estu Fanani mengatakan, terus meningkatnya jumlah Perda yang diskriminatif terhadap perempuan memperlihatkan kalau perempuan telah menjadi “tumbal demokrasi”. 


Apa yang dimaksud dengan itu? Simak perbincangan dengan Estu berikut ini. 


 

Mengapa jumlah perda diskriminatif selalu bertambah setiap tahunnya?

 

“Jumlahnya semakin meningkat karena pemerintah belum melakukan tindakan apapun. Pemerintah pusat merasa bahwa itu bukan kewenangan mereka karena Perda ini lahir akibat otonomi daerah. Namun Pemerintah Daerah merasa bahwa penerbitan Perda selalu dikonsultasikan dengan Pemerintah Pusat. Ada Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU disebutkan bahwa ada beberapa peraturan yang tidak boleh diatur oleh Pemerintah Daerah, salah satunya soal agama. Namun nyatanya semua Perda ini selalu mengatasnamakan agama. Jumlahnya kini sudah mencapai 342 Perda. Kemendagri mengetahui ada fakta ini, tapi selalu membiarkan.”

 

Apakah penyebabnya adalah otonomi daerah? 


“Dalam laporan beberapa organisasi di daerah misalnya, pelaksanaan otonomi daerah memang menimbulkan beberapa transaksi ekonomi dan politik soal perempuan. Misalnya ada beberapa Perda yang kemudian melahirkan transaksi politik anggaran. Transaksi ini terjadi ketika misalnya ada dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk pembuatan Perda, maka kemudian Pemerintah Daerah setempat segera membuat Perda karena dananya yang sudah tersedia. Namun sayangnya Perda yang dibuat selalu yang mendiskriminasi perempuan.”

 

“Hal lain kadang-kadang Pemerintah Daerah membuatnya dengan cara menjiplak Perda yang sudah ada di daerah lain.”

 

“Modus lain yaitu dengan cara melakukan studi banding ke luar daerah atau luar negeri lalu mencoba memaksakan membuat peraturan baru. Namun peraturan baru ini justru mendiskriminasi perempuan. “ 

  

Apakah ada perlawanan dari masyarakat soal Perda diskriminatif?

 

“Kematian Lilis di tahun 2009 menjadi momen penting bagaimana organisasi perempuan kemudian memetakan soal keberadaan Perda ini. (Lilis Lisdawati adalah perempuan asal Tangerang yang menjadi korban Perda prostitusi dan jam malam karena ditangkap setelah dikira pelacur. Lilis ketika itu pulang dari bekerja lebih dari jam 21.00 WIB – red.)”

 

“Walaupun sayang, setelah itu perlawanan dari masyarakat sipil yang menolak Perda ini masih relatif kecil. Karena justru yang lebih banyak tumbuh adalah kelompok-kelompok intoleran yang memaksakan bahwa Perda ini harus ada.”


“Ketika melakukan advokasi terhadap Lilis yang menjadi korban Perda jam malam Tangerang, banyak kelompok masyarakat dari kalangan fundamentalis yang melawan. Mereka sepakat bahwa harus ada jam malam bagi perempuan dan perempuan harus dibatasi hak-haknya. Dalam Perda pelacuran misalnya kelompok ini sepakat jika perempuan harus bermoral, dan hal ini terjadi hingga sekarang.”

 

Sumatera Barat dan Jawa Barat tercatat memiliki Perda diskriminatif terbanyak. Apa yang terjadi dengan dua daerah ini?


“Sumatera Barat itu memang merupakan daerah yang sangat kompleks karena terkait dengan konsep adat yg identik dengan Islam, padahal Minang sebenarnya bukan Islam. Minang sebenarnya tumbuh dalam proses akulturasi, namun yang terjadi justru banyak pemaksaan dalam memasukkan nilai Islamnya.”


“Kenapa Perdanya diskriminatif terhadap perempuan, hal ini karena nilai-nilai yang dimasukkan adalah nilai agama. Dan perempuan selalu dipandang sebagai orang yang normatif menurut agama.”


“Di Aceh ada operasi jilbab seperti semua perempuan harus memakai jilbab. Dan tak hanya itu bahkan sampai cara memakai jilbabpun harus diatur, misalnya tak boleh memakai jilbab modern. Dan itu mereka kampanyekan melalui selebaran yang dibagikan ke masyarakat.”

  

Kenapa selalu perempuan yang menjadi korban?

 

“Karena Pemerintah masih melihat bahwa perempuanlah yang paling gampang diatur. Saya kemudian menyebut perempuan selalu menjadi tumbal bagi demokrasi.”

 

Menurut CWGI apa yang harus dilakukan?


“Harus ada aturan tegas dari Pemerintah. Jika sudah tertulis bahwa Pemda tak boleh mengatur soal agama, mengapa ini dibiarkan hingga sekarang? Seharusnya ini sudah dicabut tanpa harus menunggu Perda-perda diskriminatif yang makin banyak bertumbuh. Kami ikut melakukan advokasi di tahun 2009 dan menggugat ke Mahkamah Agung (MA) soal Perda Tangerang yang menjadikan Lilis sebagai korban. Namun putusan atas gugatan tersebut baru keluar di tahun 2012 dan putusannya tuntutan kami ditolak.  Lilis lisdawati ditangkap setelah pulang bekerja karena dianggap bertindak-tanduk seperti pelacur. Jadi Perda ini memang dibuat berdasarkan asumsi-asumsi belaka, bukan pada fakta pidananya.”


  • estu fanani
  • perda diskriminatif

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!