Peserta Sekolah Lansia Universitas Respati Indonesia (URINDO) saat diwisuda, 18 Agustus 2022. (Foto: dok pribadi).

NASIONAL

Tua Itu Niscaya, tapi Bahagia di Usia Senja Itu Butuh Upaya

"Jumlah lansia Indonesia capai 10 persen dari total populasi. Usia harapan hidup meningkat, tetapi ada gap dengan usia harapan sehat."

Jumat 24 Mar 2023, 20.00 WIB

KBR, Jakarta - Sauni menanti-nanti kapan bakal kembali ke sekolah. Perempuan 64 tahun ini sudah rindu berkumpul dengan rekan-rekan sebayanya, sesama peserta Sekolah Lansia.

Mereka merupakan lulusan Sekolah Lansia Universitas Respati Indonesia (URINDO). Ingatan Sauni sontak kembali ke 18 Agustus 2022, hari wisuda.

Ia mengenakan baju toga warna ungu lengkap dengan topi. Begitu namanya dipanggil, Sauni maju ke panggung auditorium Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Jakarta. Ia dibantu salah satu panitia ketika menaiki tangga.

Kemudian, ditandai dengan berpindahnya tali topi toga dari kiri ke kanan, Sauni sah menjadi alumni S1 atau Standar 1, Sekolah Lansia URINDO.

“Saya cuma tamatan SD, ada wisuda gitu aja senangnya, sampai cucu-cucu bilang 'nenek wisuda ya, senang banget,” kata Sauni antusias.

Persiapan wisuda sama hebohnya dengan wisuda anak. Putrinya, Yuni, juga ikut sibuk.

“Anaknya bilang, mau pakai baju yang mana, Mak? dia cariin, satu setel, oh tasnya yang begini, sandalnya yang ini. Suatu kebanggaan juga anak-anak, saudara-saudara, adik-adik juga, waduh katanya udah wisuda gitu,” ujar Sauni sambil terkekeh.

Baca juga: Jejak Bagus Priyana Rawat Sejarah Magelang

Sauni (kanan) bersama Yuni, putrinya, di hari wisuda. Sauni tak terpikir bakal merasakan wisuda, karena ia hanya tamatan SD. (Foto: dok pribadi).

Sauni bersama 22 lansia warga Cipayung, Jakarta Timur adalah lulusan angkatan pertama Sekolah Lansia URINDO yang dimulai sejak Januari 2020.

Mestinya pembelajaran berlangsung 6 bulan, tetapi karena pandemi, Sekolah Lansia terpaksa vakum lama. Baru pada pertengahan 2022, seluruh kelas tuntas.

Sauni sangat menikmati proses belajar di Sekolah Lansia.

“Apalagi sudah pernah ketemu berapa puluh tahun yang lalu, waktu anak saya sakit, perawatnya itu, eh ketemu. Dia juga kaget, saya kaget, senang banget kan,” ucapnya.

Kurikulum ramah

Kelas berlangsung dua minggu sekali selama dua jam, biasanya bertempat di kampus URINDO yang memang berlokasi di wilayah Cipayung.

“Nambah ilmu, banyak teman, sekolahnya juga gratis. Coba kalau kita bayar, yang ngajar, dosen2nya sudah profesional. Susah itu keberuntungan begitu,” tutur Sauni.

Para lansia diajar dosen URINDO dari beragam keilmuan. Kurikulumnya disesuaikan dengan kebutuhan lansia dan disampaikan dengan metode yang menyenangkan. Kepala Sekolahnya adalah Tri Suratmi.

“Ada pelajaran yoga, menari jika dibutuhkan, jadi penuh gelak tawa. Itu kalau diukur, tensinya tadinya tinggi, setelah sekolah rendah. Jadi salah satu impact langsung, dia bergerak, ketemu teman,” kata Tri yang juga Direktur Indonesia Ramah Lansia DKI Jakarta.

Baca juga: Tepis Stigma Janda Dipandang Sebelah Mata

Prosesi wisuda Sekolah Lansia URINDO angkatan pertama yang digelar di Auditorium BKKBN, Jakarta. (Foto: website resmi URINDO).

Tri bilang, Sekolah Lansia lahir dari problem riil yang dialami warga Indonesia di usia tua, yakni soal gap antara usia harapan hidup dengan usia harapan sehat.

“Usia harapan hidupnya orang Indonesia saat ini 71,4 tahun ya. Namun usia harapan sehatnya 62,7 persen. Jadi usia harapan hidup bisa panjang, tetapi usia harapan sehatnya belum tentu panjang nih,” lanjut Tri.

Gap inilah yang coba dijembatani melalui Sekolah Lansia, dengan memperpanjang usia harapan sehat.

“Kalau lansia itu sudah, misalkan pensiun sampai mencapai usia tertentu, tidak aktif, itu berpotensi menjadi sakit, dan itu ga cuma sakit fisik,” tutur dia.

Tri dengan kepakarannya di bidang pendidikan, lantas menggagas dan meramu kurikulum yang pas dengan karakter lansia Jakarta. Ia memulainya dari lingkungan terdekat kampus.

“Dulu kami mengundang lurah-lurah di Kecamatan Cipayung. Kami ajak bicara, mereka merespon, waktu itu yang mendaftar banyak. Tapi sebagai sebuah kelas percontohan, kami ambil 30 orang. Nah, ada yang meninggal, akhirnya jadi 23 orang,” ucap Tri.

Peserta angkatan pertama didominasi lansia perempuan. Kesenjangan proporsi ini menjadi salah satu tantangan yang mesti dimitigasi. Selain itu, masalah pendanaan juga perlu dicarikan solusi, karena menentukan keberlanjutan.

“Biarlah peserta yang menjadi corong, bahwa ini kegiatan yang menyenangkan, biar mereka menjadi pemasarnya. Ini kan upaya getok tular, mempromosikan kesehatan lansia,” imbuhnya.

Baca juga: Wajah Panggungharjo, Desa Antikorupsi Pertama di Indonesia

Kepala Sekolah Lansia URINDO Tri Suratmi mengatakan keberlanjutan sekolah lansia butuh dukungan anggaran. (KBR/Valda).

Komunikasi lancar

Yuni Nantari, putri Sauni, ikut merasakan manfaat Sekolah Lansia. Dulu ibunya sempat terpuruk karena harus mundur dari PKK, setelah puluhan tahun aktif sebagai kader.

“Ibu kan down ya, memang mungkin sudah tua, sudah tidak dibutuhkan, pikirnya. Namun, dengan adanya Sekolah Lansia ini, ibu jadi percaya diri,” kata Yuni.

Relasi Yuni dengan ibunya pun makin akrab, karena ada pelajaran soal komunikasi di Sekolah Lansia.

“Rata-rata lansia itu egois. Di situ kan diajarin juga bagaimana berkomunikasi dengan anak, ditata, sampai cara mengungkapkannya seperti apa,” tutur Yuni.

Yuni kini ikut membantu mengelola Sekolah Lansia sebagai koordinator peserta. Ia berharap program ini terus berlanjut. Banyak ilmu dan inspirasi yang didapat Yuni, kala berinteraksi dengan para lansia. Sebagai anak muda, sekaligus calon lansia.

“Jadi empati, terus kita pun tidak bisa menghindari, nanti menjadi lansia juga. Itu ilmu-ilmunya, benar-benar bermanfaat,” ujar dia.

Penulis: Ninik Yuniati