KBR, Jakarta– Partai Buruh kini sedang menyusun gugatan uji materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022, yang belum lama ini disahkan DPR menjadi undang-undang.
Juru bicara Partai Buruh, Kahar S. Cahyono menyebut ada sembilan catatan terkait pasal-pasal bermasalah dan merugikan kalangan buruh dalam Perpu Cipta Kerja.
Beberapa di antaranya mengenai upah minimum, tenaga alih daya (outsourcing), dan masa kerja buruh kontrak.
“Untuk buruh kontrak itu tidak ada batasan kontrak, kalau di undang-undang sebelumnya (UU Ketenagakerjaan) periode kontrak itu kan dibatasi, kontrak pertama itu maksimal dua tahun, kemudian diperpanjang satu kali lagi maksimal satu tahun kemudian diperbaharui maksimal tiga tahun total akumulasinya memang lima tahun tapi untuk perpanjangan kontrak dibatasi hanya boleh tiga kali, tapi kalau di Undang-Undang Cipta Kerja tidak ada batasan lagi, berapa kali orang boleh dikontrak,tidak ada periode kontraknya," ucap Kahar saat dihubungi KBR, Jumat, (24/3/2023).
Juru bicara Partai Buruh, Kahar S. Cahyono menambahkan gugatan uji materiil Perpu Cipta Kerja akan secepatnya dikirim ke Mahkamah Konstitusi (MK), apabila proses penyusunannya rampung.
Sah
Sebelumnya, Perpu Cipta Kerja menjadi undang-undang setelah disetujui DPR. Persetujuan diambil dalam Rapat Paripurna ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 21 Maret 2023.
Perpu resmi menjadi undang-undang kurang dari dua bulan sejak Surat Presiden (Surpres) dikirim ke DPR pada 7 Februari lalu. Dua fraksi, yakni F-PKS dan F-PD menolak pengesahan tersebut. F-PKS menunjukkan penolakan itu dengan keluar dari rapat paripurna atau walk out.
Baca juga:
- Berbagai Protes Tolak Pengesahan Perpu Cipta Kerja
- Paripurna DPR Sahkan Perpu Cipta Kerja, Dua Fraksi Menolak
Bertentangan dengan UUD 1945
Perpu Cipta Kerja dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk lain dari UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat secara formil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021.
Saat itu, MK memerintahkan DPR RI dan Presiden Jokowi untuk mengulang proses pembentukan UU tersebut dengan memastikan partisipasi publik.
"Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan'. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini," ucap Ketua MK Anwar Usman.
Alih-alih mengikuti putusan MK, Jokowi justru menandatangani Perpu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Presiden beralasan perpu itu diperlukan untuk menghadapi tantangan ekonomi global.
Namun, alasan Jokowi itu dinilai banyak pihak tak sesuai unsur kegentingan memaksa seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Bertolak Belakang
Sejumlah ekonom menilai alasan kondisi perekonomian yang dijadikan Jokowi menerbitkan Perpu Cipta Kerja, bertolak belakang dengan kondisi di tanah air.
Salah satu ekonom tersebut adalah Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal. Faisal mencontohkan dari sisi investasi, yang tidak akan sampai terkontraksi dalam.
"Karena kondisi terutama di beberapa sektor tertentu, kalau kita belajar dari kasus pandemi saja, saya rasa itu kasus pandemi 2020 itu adalah kondisi terburuk dari sisi investasi, ya. Itu pun yang yang industri manufaktur yang masih meningkat investasinya, terutama yang smelter. Ada sektor sektor yang tidak begitu terpengaruh sebetulnya. Jadi, dikatakan genting itu juga tidak juga," kata Faisal kepada KBR, Senin, (2/1/2023).
Menurut Faisal, memang ada kekhawatiran perlambatan investasi jelang tahun politik, namun hal itu hanya terjadi dalam jangka pendek. Sedangkan, muatan Perpu Cipta Kerja akan berdampak pada jangka menengah dan panjang.
Editor: Resky Novianto