NASIONAL

Musim Semi Bisnis Thrifting, Musim Gugur Produk Lokal?

"Tren Thrifting yang menjamur dikhawatirkan ancam UMKM"

Podcast What's Trending

KBR, Jakarta- Bisnis thrifting nampaknya sedang musim semi. Barang-barang second branded, sudah jadi gaya hidup, khususnya bagi muda-muda di perkotaan. Sebenarnya semangatnya adalah tren fesyen berkelanjutan, biar ngurangin sampah. Namun, mengimpor barang-barang bekas ini juga berpotensi memicu penambahan sampah ke tanah air. 

Nah banyaknya impor barang-barang bekas ini tampaknya membuat pemerintah mulai gelisah. Pasalnya, banjir barang impor dikhawatirkan bisa mematikan UMKM lokal.

“Argumen kita untuk menolak masuknya pakaian bekas dan sepatu bekas impor untuk diperdagangkan sangat kuat, kita ingin melindungi produk dalam negeri terutama di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), yang sekarang sudah banyak diproduksi oleh pelaku UMKM di tanah air,” kata MenKopUKM Teten Masduki dalam keterangannya di Kantor Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM), Jakarta, Senin (13/03).

Baca juga:

Bukan Berhemat, Presiden Dorong Masyarakat buat Belanja

Cinderella Complex Tak Seindah Namanya

Perlu Nggak Sih, Buzzer Diatur UU?

Menurut Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, bisnis thrift, pakaian bekas impor punya dampak buruk. Mulai dari masalah lingkungan hingga merugikan pendapatan negara. Padahal, banyak produk fesyen lokal berkualitas yang tidak kalah dengan brand impor.

“Saat ini kami terus mendorong masyarakat untuk mencintai produk dalam negeri melalui kampanye BBI yang telah digaungkan Presiden sejak tahun 2020. Melalui kebijakan tersebut, diprediksi oleh BPS akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1,85 persen sekaligus menciptakan 2 juta lapangan kerja tanpa investasi baru," ujar Teten.

Apa Ngaruhnya Thrifting yang Digemari Warga +62?

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menganggap wajar, pemerintah yang kebakaran jenggot dengan maraknya barang-barang bekas impor. Tak hanya menganggu jalannya UMKM, Tauhid melihat sejumlah kerugian dari eksistensi bisnis barang bekas ini.

"Saya kira jelas ya. Ketika kita tidak secara tegas melarang impor pakaian bekas. Maka masyarakat di perkotaan akan beralih konsumsi ke pakaian bekas. Mudah diperoleh, bekas, fungsinya masih layak begitu. Mau tidak mau, market produk lokal yang katakanlah bukan brand global akan tergerus ya," ungkap Tauhid.

Tauhid pun melihat adanya peningkatan minat masyarakat terhadap barang-barang bekas. Hal ini, menurutnya, semakin meningkatkan kekhawatiran akan kondisi industri dalam negeri.

"Ya ini kan kenapa terjadi? Ya karena budaya konsumsi di dalam negeri berubah. Ya mungkin media sosial, tren berubah. Kayaknya ketika menggunakan brand-brand global atau merek pakaian bekas dari luar, itu lebih punya nilai begitu. Ini kan soal kondisi anak-anak muda yang mengonsumsi seperti itu. Lebih suka barang-barang branded, meski bekas. Yang untung cuma pelaku bisnisnya," pungkas Tauhid.

Lebih lanjut soal ini. Yuk kita dengarkan podcast What's Trending di link berikut ini:

  • Barang bekas
  • Thrifting merajalela
  • Baju Bekas
  • UMKM
  • Ekonomi
  • Thrifting ilegal

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!