NASIONAL

Kontroversi Vonis Bebas Terdakwa Tragedi Kanjuruhan

"Ketua majelis hakim Abu Achmad Sidqi Amsya menyatakan Setyo Pranoto tidak bersalah dan tidak pernah memerintahkan penembakan gas air mata."

Kontroversi Vonis Bebas Terdakwa Tragedi Kanjuruhan
Ilustrasi: Aremania menggelar aksi demonstrasi menuntut keadilan atas Tragedi Kanjuruhan di Jl Tugu Malang, Kamis (27/10/22) (KBR/Zainul Arifin)

KBR, Jakarta- Dua polisi terdakwa Tragedi Kanjuruhan divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 16 Maret 2023.

Keduanya adalah bekas Kasat Samapta Polres Malang Bambang Sidik Achmadi dan eks Kabag Ops Polres Malang Wahyu Setyo Pranoto.

Ketua majelis hakim Abu Achmad Sidqi Amsya menyatakan Setyo Pranoto tidak bersalah dan tidak pernah memerintahkan penembakan gas air mata.

"Tiga memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dan dikeluarkan dari tahanan segera setelah putusan ini dibacakan," kata majelis hakim.

Sedangkan satu polisi lain, yakni eks Danki Brimob Polda Jawa Timur Hasdarman, divonis 1,5 tahun penjara.

Pada sidang sebelumnya, jaksa menuntut ketiganya dengan hukuman pidana penjara masing-masing tiga tahun. Jaksa mendakwa mereka lalai sehingga menyebabkan 135 orang tewas dalam Tragedi Kanjuruhan, Oktober tahun lalu.

Lebih Rendah dari Tuntutan

Dua terdakwa lain di kasus sama, yakni bekas Ketua Panitia Pertandingan Arema Abdul Haris divonis penjara 1,5 tahun, Kamis, 8 Maret 2023.

Sedangkan Security Office Suko Sutrisno divonis satu tahun penjara. Vonis kedua terdakwa itu juga lebih rendah dari tuntutan jaksa yakni 6 tahun 8 bulan penjara.

Keluarga Kecewa

Beberapa keluarga korban yang hadir di persidangan, kecewa atas putusan bebas dua terdakwa Tragedi Kanjuruhan. Isatus Sa'adah mengaku sedih mendengar vonis yang ia nilai mencederai rasa keadilan. Isatus merupakan kakak kandung dari Wildan Rahmadhani, yang tewas akibat Tragedi Kanjuruhan.

Langkah Selanjutnya

Pendamping Hukum Tim Gabungan Aremania Malang Andy Irfan Junaedi, bakal membuat laporan ke Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Andy menilai, putusan hakim tidak adil, tak masuk akal, dan tidak berperikemanusiaan.

"Karena itu kita juga akan membuat laporan ke Komisi Yudisial agar nanti bisa terungkap seluruh kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di pengadilan dan di dalam proses peradilan juga argumentasi pesan yang aneh dari hakim, itu bisa kita kaji bersama. Apakah itu melanggar kode etik hakim di dalam profesi kehakiman ataukah tidak. Yang terakhir kami juga akan membuat laporan kepada Komnas HAM soal dugaan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia," ucap Andy kepada KBR, Kamis, (16/3/2023).

Pendamping Hukum Tim Gabungan Aremania Andy Irfan Junaedi mengeklaim menemukan fakta baru terkait Tragedi Kanjuruhan. Fakta itu kemungkinan bisa menyeret tersangka baru.

Sedari Awal Tak Transparan

Di tempat lain, bekas Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Akmal Marhali, mempertanyakan vonis hakim dalam perkara Kanjuruhan. Dia menilai vonis bebas tidak sesuai asas keadilan yang diharapkan masyarakat.

Menurutnya, proses hukum yang berjalan sedari awal tidak transparan dan tidak profesional. Dia berharap jaksa mengajukan banding.

"Ada 'rekayasa hukum di dalamnya', sehingga kemudian ini yang dipertanyakan oleh masyarakat. Di mana keadilannya? Sehingga kemudian ada dua polisi, bekas Kasat Samapta Polres Malang dan bekas Kabag Ops Polres Malang, divonis bebas. Tapi ada juga sisi positifnya yang harus diambil. Artinya kalau kemudian ada dua polisi divonis bebas, apakah kemungkinan kasus ini dikembangkan untuk menjerat pejabat yang lebih tinggi? Ini kan pertanyaan yang harus dijawab," kata Akmal saat dihubungi KBR, Kamis, (16/03/23).

Bekas TGIPF Kanjuruhan Akmal Marhali menilai, ada peluang kasus ini dikembangkan lebih dalam. Sehingga bisa menyeret tersangka lain dari polisi dengan jabatan yang lebih tinggi.

Pemberi Komando

Senada dengan Akmal, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, pihak yang paling bertanggung jawab merupakan pemberi komando tertinggi dalam satuan. Kata dia, hukuman pidana bisa lebih berat lantaran menimbulkan kerusuhan yang berakibat ratusan nyawa melayang.

Menurut Fickar, sulit menjatuhkan vonis tinggi bagi terdakwa yang bukan merupakan penanggung jawab atau pelaku utama.

"Mestinya bukan bebas ya, lepas. Karena mereka melaksanakan juga tugasnya, tapi terjadi penyimpangan atau terjadi kelalaian atau apapun namanya yang menyebabkan kerusuhan dan ada beberapa orang meninggal. Itu kan sebenarnya de facto-nya tanggung jawab mereka di lapangan. Tapi de jure-nya sebenarnya tanggung jawab itu ada di pemberi perintah nomor satu di atas itu," ujar Fickar saat dihubungi KBR, Kamis, (16/3/2023).

Gagal

Sebelumnya, vonis ringan dan bebas terdakwa Tragedi Kanjuruhan menuai sorotan dari kalangan masyarakat sipil. Amnesty International Indonesia menilai, pengadilan gagal memberi keadilan kepada para korban.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid meminta adanya peradilan yang adil, imparsial, terbuka dan independen.

KY Harus Turun

Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad isnur meminta Komisi Yudisial (KY) memeriksa majelis hakim yang memimpin sidang Tragedi Kanjuruhan, Malang.

Isnur menilai ada dugaan pelanggaran kode etik para hakim terkait kasus tersebut.

“Komisi Yudisial dan badan pengawas Mahkamah Agung, kami meminta mereka untuk memeriksa mereka majelis hakim yang memeriksa perkara ini, kami yakin dan kuat dugaan kami bahwa hakim-hakim ini melanggar etik,” kata Isnur kepada KBR, Jumat (17/3/2023).

Hakim dan JPU Cenderung Pasif

Kata dia, salah satu kejanggalan yang terlihat dalam sidang adalah hakim dan jaksa penuntut umum cenderung pasif dalam menggali kebenaran materiil.

Tuntutan lain, yakni meminta Kapolri Listyo Sigit memastikan proses hukum berjalan independen dan transparan.

Menurutnya, polisi perlu kembali melakukan penyelidikan dan penyidikan guna menemukan tersangka baru, khususnya pelaku penembakan gas air mata.

Ia juga meminta Komnas HAM menetapkan Tragedi Kanjuruhan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • Tragedi Kanjuruhan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!