NASIONAL

Sejarawan: Sri Sultan HB IX Tokoh Sentral Serangan Umum 1 Maret 1949

"Ketika Soekarno-Hatta dan sejumlah menteri di pengasingan berjuang dengan diplomasi, Sultan HB IX menginisiasi Serangan Umum 1 Maret 1949. "

Sejarawan: Sri Sultan HB IX Tokoh Sentral Serangan Umum 1 Maret 1949
Teatrikal peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. (Foto: ANTARA/Eka AR/am)

KBR, Jakarta- Terbitnya Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, membuka kembali diskusi sejarah mengenai siapa tokoh-tokoh yang paling berperan penting dalam Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949.

Perdebatan terutama berpusat pada konsideran keppres yang tidak menyebut nama Soeharto, yang saat itu berpangkat letnan kolonel dan menjadi Komandan Brigade 10/Wehrkreise III.

Apakah Soeharto tokoh sentral dalam Serangan Umum 1 Maret 1949?

"Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah inisiator Serangan Umum 1 Maret seperti yang ia ungkapkan dalam wawancara dengan Radio BBC dan juga dalam bukunya Tahta untuk Rakyat. Kesaksian beliau ini tidak pernah dibantah oleh Soeharto selama menjadi penguasa Orde Baru selama 30 tahun," papar sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sri Margana, dalam webinar Memahami Keppres No 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, Senin (7/3/2022).

Sri Margana merupakan salah satu tim perumus naskah akademik Keppres 2/2022.

Serangan Umum 1 Maret 1949 tidak lepas dari upaya Belanda menjajah kembali Indonesia, setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia II.

Selama Belanda kembali untuk merebut Indonesia, sejumlah pemimpin negara seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim dan para menteri lain ditangkap Belanda dan diasingkan ke Menumbing, Bangka.

Di pengasingan, mereka melakukan kontra propaganda internasional, guna menangkal propaganda Belanda yang mengklaim Indonesia sudah tidak ada.

Ada sejumlah menteri yang tidak ditangkap Belanda, salah satunya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Saat itu ia menjabat Menteri Keamanan Negara atau Menteri Pertahanan saat itu.

Sejarawan UGM, Sri Margana mengatakan Sultan HB IX memiliki peran sentral selama periode revolusi kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan.

"Beliau ini memiliki pangkat tituler, atau letnan jenderal yang diakui Belanda, sampai tentara Belanda tidak berani melawan eksistensi Sultan, baik sebagai raja atau jenderal. Sultan juga yang menawarkan Jogjakarta sebagai ibu kota, sebagai upaya mempertahankan kedaulatan, agar Indonesia tetap eksis," kata Sri Margana.

Ketika Soekarno-Hatta dan sejumlah menteri di pengasingan berjuang dengan diplomasi, Sultan HB IX menginisiasi Serangan Umum 1 Maret 1949. Pada saat itu pemerintahan Indonesia berbentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di bawah pimpinan Sjafrudin Prawiranegara dengan ibu kota dipindah ke Bukittinggi.

Sultan HB IX juga tokoh yang mewakili Indonesia menerima dokumen pengakuan kedaulatan dari Belanda. Penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia dilakukan di dua tempat, yaitu di Indonesia yang diterima Sultan HB IX dan di Belanda yang diterima Muhammad Hatta.

Tokoh-tokoh lain

Sri Margana mengatakan ada sejumlah tokoh yang terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret. Sebagaimana dijelaskan oleh KPH Soedarisman Poerwokusumo, wali kota Yogyakarta saat itu.

"SU 1 Maret itu peristiwa kolektif, yang melibatkan banyak orang. Bukan lone ranger yang dilakukan satu orang. Tapi peristiwa yang melibatkan banyak orang, dengan koordinasi dan strategi militer yang sangat kuat," kata Margana.

Sri Margana mengatakan, pada 21 Februari 1949, Mr Soedarisman dipanggil Sultan HB IX di Kepatihan untuk membicarakan serangan umum, yang rencananya digelar 28 Februari. Sehari kemudian, pada 22 Februari, gedung Kepatihan digerebek Belanda yang menyebabkan rencana penyerangan diubah menjadi 1 Maret.

"Jadi, selain Letkol Soeharto yang memang ditunjuk untuk memimpin Serangan Umum 1 Maret, juga dilibatkan banyak tokoh. Seperti Wali Kota Yogyakarta Mr Soedarisman," kata Sri Margana.

Soedarisman berperan penting mengondisikan Kota Yogyakarta, seperti menentukan rumah-rumah yang ditinggali pejuang, menentukan tempat dapur umum, jalan masuk dan keluar bagi pejuang dan lain-lain.

Selain itu, kata Sri Margana, ada juga peran Jenderal Soedirman yang memberikan izin dan arahan terhadap pelaksanaan serangan. Kolonel Bambang Sugeng (Komandan Divisi III) juga ikut mengonsep serangan umum 1 Maret, dan penandatangan perintah siasat dan mencegah pasukan Belanda dari barat dan utara. 

Sedangkan Kolonel Gatot Subroto (Komandan Divisi II) bertugas mencegah masuknya Belanda dari Solo ke Yogyakarta.

Kolonel TB Simatupang bertugas mengonsep berita ke luar negeri dan mengumpulkan intelijen untuk menyebarkan informasi.

Mayor Sardjono dan Letnan Kolonel Vince Samuel berjuang di garis depan, bertempur melawan Belanda di Benteng Vredeburg.

Pasukan Mayor Soekasno mencegah kedatangan bala bantuan Belanda dari Magelang, yang dijuluki Andjing NICA. Sedangkan pasukan Mayor Soedjono menduduki Bandara Maguwo, untuk mencegah Belanda menggunakan pesawat menggempur para pejuang.

Sedangkan Letnan Kolonel Soeharto bersama pasukan melakukan penyerangan dari arah Kuncen/Patuk, dan bergabung dengan Mayor Sardjono dan Letkol Vince Samuel.

"Jadi, Serangan Umum 1 Maret enggak hanya lone ranger, pekerjaan satu orang, yang memimpin pasukan dengan sendiri, bertempur habis-habisan. Tapi melibatkan strategi yang kompleks, masing-masing unsur punya peran. Kalau itu tidak berjalan, salah satunya tidak berjalan, misalnya Pak Gatot Subroto gagal mencegah pasukan Belanda dari Solo, ya serangan umum gagal juga. Jadi enggak bisa diklaim oleh satu individu saja," kata Margono.

Baca juga:


Momentum penting

SU 1 Maret 1949 di Yogyakarta menjadi salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia. Meski para tokoh kemerdekaan sudah memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 dan Jepang sudah menyerah kalah kepada negara sekutu dalam Perang Dunia II pada 15 Agustus 1945, namun kemerdekaan itu belum mendapat pengakuan dari negara sekutu, terutama Belanda.

Saat tentara negara Sekutu (Inggris) datang ke Indonesia pada 20 Oktober 1945, untuk melucuti tentara Jepang, tentara Belanda mendompleng dengan bendera Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Belanda, di bawah pimpinan Jenderal Van Mook, berusaha merebut kembali Indonesia, berbekal perjanjian diam-diam pemindahan kekuasaan di Indonesia dari British Mililtary Administration kepada NICA pada 24 Agustus 1945. RI terpaksa memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1946, untuk mencegah ibu kota diduduki Belanda.

Sepanjang 1947 dan 1948, Belanda melakukan agresi militer dua kali. Selama beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan, upaya Belanda menjajah kembali Indonesia menghadapi perlawanan para pejuang.

SU 1 Maret 1949 dianggap menjadi penting karena menjadi momentum digelarnya sejumlah perjanjian Indonesia-Belanda, seperti Perundingan Roem Royen pada 17 April 1949 (sekitar 1,5 bulan setelah serangan umum), serta Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den haag Belanda dan pengakuan kedaulatan RI pada 27 Desember 1949.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • Serangan Umum 1 Maret
  • Soeharto
  • Sri Sultan HB IX
  • kemerdekaan RI
  • Keppres tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!