Popsiklus mendayagunakan sampah karton susu jadi produk seperti tas dan sampul notebook. (Dok: IG Popsiklus)

NASIONAL

Popsiklus, Pemain Lama Bisnis Daur Ulang yang Makin Relevan

Kamis 17 Mar 2022, 20.40 WIB

KBR, Jakarta - Tren ekonomi hijau makin mendapat tempat di publik dan pembuat kebijakan. 

Hal itu tercermin dari ajang penghargaan Good Design Indonesia (GDI) 2021 yang dihelat Kementerian Perdagangan. Salah satu pemenangnya adalah Popsiklus yang dimotori Kurniati Rachel Sugihrehardja.

“Awalnya tidak ada motivasi ya karena aku merasa di acara GDI sebelumnya yang ikut pemain besar. Tapi ya sudah daftar aja, berharap salah satu produk yang didaftarkan bisa berkenan,” ucap perempuan yang disapa Nia ini. 

Nia tak menyangka tas jinjing (tote bag) buatannya dinilai inovatif, berorientasi ekspor dan ramah lingkungan.

“Aku submit kalau ga salah empat item, yang menang itu yang adalah desain original, tanpa bahan tambahan apa-apa. Itu dinilai sebuah kebaruan,” katanya. 

Usaha daur ulang sampah karton susu menjadi tote bag dan notebook sudah digeluti Nia sejak 2009 silam. Semua itu bermula saat ia risi dengan tumpukan karton susu bekas konsumsi keluarganya.

"Dulu tukang sampah ga datang setiap hari jadi itu PR banget. Bank sampah kan ga sebanyak sekarang dan mereka pun hanya menerima koran dan majalah," jelas Nia. 

Kegelisahan mendorong Nia berkreasi. Pojok me time, ruang kecil di rumahnya, jadi tempat bereksperimen mengolah beragam produk dari sampah kemasan susu.

"Bahannya tebal dan durable, aku coba bikin kover notebook dipakai sendiri awalnya. Terus aku kadoin teman yang ulang tahun, lama-lama jadi nerima pesenan kado," ucap ibu rumah tangga ini.

Baca juga: Naked Inc, Inisiatif Belanja Bebas Sampah

Tas jinjing Popsiklus berbahan dasar karton susu yang didapat dari kedai kopi dan tetangga Nia. (Dok: IG Popsiklus)

Nia makin serius menggarap bisnis kerajinan daur ulang dengan label bikinbikin craft. Pengalaman belajar sebagai desainer membantunya menciptakan beragam ide. 

Produknya dipasarkan di bazar-bazar. Ia pun banjir pesanan. Alhasil, Nia harus mencari sumber pasokan bahan material. Mulai dari menerima donasi karton susu bekas pakai dari warga hingga berburu ke kedai-kedai kopi. 

"Kalau kedai kopi aku ngomong sama owner-nya karena memengaruhi SOP kerja. Kebanyakan dari mereka membersihkan malam hari, lalu ditiriskan dan besok paginya dibuat supaya karton susunya bisa dipakai lagi,” kata Nia. 

Selain soal kuantitas, sejumlah syarat ditetapkan agar kualitas donasi karton susu benar-benar layak olah.

“Pengumpulannya ini cukup effort, diperlukan keikhlasan dari penggunanya karena ini sebenarnya tanggung jawab kita bersama kalau urusan sampah,” kata perempuan 44 tahun ini. 

Persoalan memilih pekerja juga tak kalah pelik. Nia kerap bongkar pasang tim karena sulitnya mencari penjahit yang cocok. Apalagi ia harus pindah rumah dari Tangerang, Banten ke Cimahi, Jawa Barat. 

“Susah sekali melahirkan tukang jahit, aku butuh waktu yang lama. Kita ngajarin lima orang, yang akhirnya bertahan dan mau terus menjahit cuma satu," jelasnya.

Baca juga: Kampung Liu Mulang, Teladan Hidup Selaras dengan Alam

Popsiklus bekerjasama dengan teh Warisan melakukan pelatihan pembuatan kemasan teh. (Dok: IG Popsiklus)

Berbagai tantangan ini tak jarang membuatnya ingin berhenti. Terlebih, pasca-momen di 2017, saat ia menjadi finalis salah satu kompetisi desain. 

"Aku dibantai sama salah seorang juri, pulang bercucuran air mata, padahal udah 10 besar,” kenang Nia. 

Ia menjadikan peristiwa itu sebagai pelecut untuk berinovasi. Dua tahun kemudian, desain tote bag-nya sukses menyabet juara kedua Emerging Award, yang dihelat Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia. 

“Tiap aku ingin berhenti, semesta itu aja. Ada yang kontak akulah tiba-tiba order, tiba-tiba mau syuting. Ini kayaknya memang meant to be-nya aku tuh melakukan ini," katanya

Pandemi Covid-19 memberi ujian kesekian bagi bisnis Nia. Semua bazar sebagai lapak utama pemasaran produk, ditiadakan. Namun, ia tetap bertahan demi menghidupi keempat karyawannya. 

“Tiap bulan ada aja tas yg terjual, tapi memang ada juga selama pandemi aku ga jualan apa-apa, ada yg ready stock, tapi ada juga yang preorder,” ujar Nia. 

Momen pagebluk dimanfaatkan Nia untuk mengeksplorasi ide-ide baru di pojok me time.

“Di masa pandemi aku lagi belajar supaya jadi something-lah si serpihan-serpihan ini. Karena kalau dibuang jadi masalah baru,” jelasnya.

Baca juga: Berhitung Plastik pada Kopi Senja

Kurniati Rachel Sugihrehardja founder Popsiklus. (Dok: IG Popsiklus)

Ia pun berencana menambah layanan baru bagi pelanggan.

"Tas yang sudah beyond repair dikirim lagi ke aku, lalu aku olah dan akan jadi milik mereka lagi dalam bentuk lain, bukan bentuk tas. Intinya si bahan karton susu itu jangan sampai berakhir di TPA," ujar Nia.

Total lebih dari satu dekade Nia berkecimpung di bisnis ramah lingkungan. Lika-liku pengalaman justru memantapkannya untuk tetap bertahan dan berkembang. Semangat itu tercermin dari pergantian nama brand-nya menjadi Popsiklus. 

Dengarkan News Wrap Up episode Popsiklus, Pemain Lama Bisnis Daur Ulang yang Makin Relevan di KBR Prime, Spotify, Google Podcast, dan platform mendengarkan podcast lainnya. 

Penulis: Valda Kustarini

Editor: Ninik Yuniati