NASIONAL

Eks Ketua MK: Kualitas Demokrasi Makin Buruk, Partai-partai Berubah Jadi Kerajaan

"Dinasti politik merajalela. Ketika berkolaborasi dengan oligarki ekonomi, karena demokrasi biaya mahal, maka pemilik modal semakin besar perannya dalam menentukan proses politik. "

Ken Fitriani

Eks Ketua MK: Kualitas Demokrasi Makin Buruk, Partai-partai Berubah Jadi Kerajaan
Eks Ketua MK Jimly As-Shiddiqie dalam muktamar di Jakarta, Rabu (16/3/2022). (Foto: Humas PP Muhammadiyah)

KBR, Yogyakarta - Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi RI sekaligus ahli hukum tata negara, Jimly As-Shiddiqie menilai, upaya rekonstruksi untuk memulihkan kualitas demokrasi adalah agenda terpenting yang harus segera digarap Indonesia.

Rekonstruksi yang diperlukan ada dua hal, yakni institusionalisasi (pelembagaan) politik dan konsolidasi politik.

Menurut Jimly, apa yang terjadi saat ini di Indonesia adalah proses pembongkaran kelembagaan politik (de-institusionalisasi) dari fungsi dasarnya.

"Yang terjadi sekarang terbalik. Mana urusan privat, dan mana urusan dinas (publik) itu campur aduk. Kita sulit menentukan ini statement dalam kapasitas pejabat atau statement pribadi. Tiap hari semua orang bicara, menggunakan kebebasan. Kadang bukan urusannya dia omongin juga. Lalu ada orang lain mengutipnya, jadi kacau ruang publik," kata Jimly dalam rilis yang dikirimkan oleh Humas PP Muhammadiyah, Rabu (16/3/2022).

Baca juga:

Jimly mengatakan proses de-institusionalisasi politik semakin besar akibat belum berjalannya sistem yang secara ketat mengatur ruang bagi para politisi yang berlatar belakang sebagai pebisnis.

Karena itu, konflik kepentingan di kalangan para pejabat pun sulit terhindarkan.

"Sekarang di pemerintahan kita lebih dari 50 persen pejabat politik kita adalah pengusaha. Ini satu kenyataan," ungkapnya.

Jimly lalu menyebut ikhtiar untuk menjegal upaya de-Institusionalisasi itu antara lain adalah mengusulkan sejumlah Undang-Undang (UU) seperti UU Larangan Konflik Kepentingan, reformasi UU PT, UU Penyiaran, UU Pemilu, dan UU yang mengatur agar batas maksimum dinasti politik dalam suatu partai hanya boleh dua generasi saja dan berjeda.

"Penguatan konsolidasi dan institusionalisasi politik ini penting dilakukan untuk mengikis budaya dan alam bawah sadar feodal yang masih menjadi corak intrinsik partai politik di Indonesia," ujarnya.

Jimly menyebut, warisan budaya feodal itu pertama kali nampak ketika perdebatan sistem tata negara Indonesia di sidang BPUPK jam 3 pagi tanggal 1 Juli 1945.

Perdebatan runcing mengakibatkan sidang yang biasanya selalu memakai sistem musyawarah akhirnya memakai sistem voting untuk menentukan apakah Indonesia memakai sistem kerajaan atau sistem republik.

"Sekarang setelah 76 tahun merdeka. Apa ini sudah selesai? Belum. Lihatlah partai-partai yang lahir setelah reformasi, cepat sekali menjadi kerajaan. Semuanya. Dinasti politik di Indonesia merajalela di mana-mana. Tatkala dia berkolaborasi dengan oligarki ekonomi, karena demokrasi makin menunjukkan gejala makin lama makin mahal, butuh biaya, maka pemilik modal semakin besar perannya dalam menentukan proses-proses politik. Maka ekonomi, dinasti, politik campur aduk sekarang," tegas Jimly.

Selain untuk mencegah de-institusionalisasi, penguatan pelembagaan dan konsolidasi politik disebut Jimly berguna bagi Indonesia untuk memperkuat tata kelola negara yang bertumpu pada sistem dan bukan pada corak feodal yaitu bertumpu pada figur pemimpin.

"Semakin besar dan modern suatu organisasi, ketergantungannya pada sistem semakin tinggi. Semakin kecil dan tradisional suatu organisasi, ketergantungannya pada faktor figur semakin kuat. Nah Indonesia sebagai organisasi besar negara modern yang menjadi kekuatan demokrasi terbesar ketiga di dunia itu memerlukan penguatan sistem leadership, bukan figur," pungkasnya.

Baca juga:


Editor: Agus Luqman

  • demokrasi
  • oligarki
  • konstitusi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!