NASIONAL

Antibodi Warga Terbentuk, Tak Jamin RI Bebas COVID-19

""Meskipun namanya lanskap atau modal imunitasnya itu sudah, bahkan ada yang di atas 90 persen, 90 persen lebih itu tidak menjamin, tidak menjadi jaminan untuk tidak terjadi lonjakan.""

Heru Haetami, Dwi Reinjani

COVID-19
Petugas melakukan sosialisasi disiplin protokol kesehatan di jalan raya Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (19/2/2022). (Foto: ANTARA/Arnas Padda)

KBR, Jakarta - Sebanyak 86 persen penduduk Indonesia dinyatakan telah memiliki antibodi terhadap virus SARS CoV-2 atau virus korona.

Data tersebut diketahui lewat survei kekebalan tubuh yang dilakukan pemerintah bersama Tim Pandemi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia. Hasil survei serologi antibodi terhadap SARS-CoV-2 diumumkan pekan lalu.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan survei dilakukan di 100 kabupaten/kota wilayah aglomerasi dan nonaglomerasi, reratanya adalah yang sudah memiliki antibodi baik karena vaksinasi maupun infeksi.

"Itu juga bisa membuat pertama menjawab pertanyaan kenapa pada saat itu terjadi penurunan yang sangat rendah. Yang kedua untuk strategi ke depan. Kalau seandainya prevalensi antibodinya masih rendah, kita harus genjot habis-habisan vaksinasinya dan protokol kesehatan harus ketat," kata Tito dalam Konferensi Pers daring, Jumat (18/3/2022).

Mendagri Tito Karnavian mengatakan upaya menanggulangi pandemi salah satunya dengan membuat masyarakat memiliki antibodi agar tercapai kekebalan kelompok (herd immunity).

"Oleh karena itu selain dari data vaksinasi dan data yang terkena COVID dan terdata di fasilitas kesehatan, kita ingin mengetahui juga berapa banyak yang sudah memiliki antibodi karena terpapar tapi nggak sadar atau memang tidak berobat tapi sembuh," kata Tito.

Baca juga:


Meski demikian, Kementerian Kesehatan meminta masyarakat untuk tetap mendapatkan vaksin COVID-19 dosis lengkap dan booster untuk meningkatkan kekebalan atau antibodi virus corona.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan ada mutasi virus yang masih mengancam. Apalagi, di Indonesia telah ditemukan subvarian Omicron BA.2 yang jumlahnya semakin mendominasi kasus saat ini.

Subvarian ini juga menjadi pemicu lonjakan kasus di beberapa negara yang memiliki cakupan lengkap tinggi.

“Ketiga negara ini peningkatan kasusnya karena ada subvarian baru, anak omicron BA.2. Subvarian ini sudah ada di Indonesia dan hasil genome terakhir dalam dua bulan lebih kita sudah melakukan 8.032 genome di akhir memang porsi BA.2 sudah dominan di Indonesia," kata Budi dalam Konferensi pers daring, Senin (14/3/2022).

Baca juga:


Vaksinasi turun

Fakta di lapangan menunjukkan adanya penurunan angka vaksinasi. Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mendorong daerah agar mempercepat vaksinasi COVID-19. Terutama provinsi yang laju vaksinasi dosis kedua dan dosis ketiga masih rendah serta tengah mengalami kenaikan kasus Covid-19 mingguan.

“Vaksinasi harus terus ditingkatkan utamanya pada provinsi yang masih mengalami penambahan kasus mingguan yang tinggi dengan cakupan laju vaksinasi yang rendah. Ada 15 provinsi, berurutan dari yang kenaikan kasus mingguannya tertinggi adalah Banten, NTT, Kalimantan Barat, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Aceh, Sulawesi Utara, Papua Barat, Bengkulu, Kalimantan Selatan Papua dan Sulawesi Barat," kata Wiku saat konferensi pers daring (15/3/22).

Menurut Wiku, cakupan vaksinasi dosis lengkap pada seluruh 15 provinsi tersebut masih kurang dari 70 persen, begitu juga dengan vaksin booster masih belum ada yang mencapai 30 persen.

Wiku mengatakan, antibodi yang terbentuk membuka kemungkinan dilakukan sejumlah pelonggaran pada masa pandemi.

"Perlu diketahui kekebalan komunitas merupakan salah satu kunci keberlangsungan aktivitas dan produktivitas terkait ekonomi di masa pandemi ini. Terlebih tidak lama lagi kita akan memasuki puasa dan lebaran untuk masyarakat dimohon melengkapi vaksin dan booster melakukan sebagai pondasi pertahanan kekebalan komunitas," imbunya.

Aturan mobilitas

Kalangan ahli epidemiolog mengingatkan sejumlah hal yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan mobilitas ke depan.

Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo mengatakan meski antibodi warga telah terbentuk, pemerintah mesti mengantisipasi mutasi virus yang masih akan terjadi.

“Prasyaratnya ada dua. Pertama prokes harus tetap jangan kita main-main dengan prokes karena di Inggris dan lain-lain itu naik kasusnya karena ada dua faktor yang pertama faktor BA.2 atau varian turunan Omicron. Kedua, juga abai terhadap prokes di luar negeri kan mereka boleh tanpa masker dan akibatnya itu tadi selain ada BA.2 dan ada pelanggaran tidak pakai masker sekarang di banyak negara dan kita jangan meniru niru. Jadi prasyaratnya itu dan kedua asal jangan ada varian baru, kalau ada varian baru lagi maka bisa jebol lagi, karena tidak bisa kita prediksi. Jadi yang akan tahu ada varian baru yang lebih menular atau patogen itu hanya virusnya dan kita tidak tahu itu,” kata Windhu kepada KBR, Selasa (22/3/2022).

Senada, epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyatakan, antibodi yang terbentuk tidak menjamin tak ada lonjakan kasus COVID-19.

“Belajar situasi Eropa, Amerika bahkan beberapa negara Asia yang mengalami lonjakan kasus karena subvarian Omicron BA.2, kita melihat bahwa meskipun namanya lanskap atau modal imunitasnya itu sudah, bahkan ada yang di atas 90 persen, 90 persen lebih itu tidak menjamin, tidak menjadi jaminan untuk tidak terjadi lonjakan,” kata Dicky kepada KBR, Selasa (22/3/2022).

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

  • antibodi
  • herd immunity
  • kekebalan komunal
  • pandemi covid-19
  • Vaksinasi Covid-19
  • survei serologi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!