BERITA

Survei SMRC Hanya 46% Warga yang Bersedia Divaksin, Begini Tanggapan Kemenkes

""Yang tidak mau divaksin tetap harus kita edukasi, tetap harus kita intervensi dengan memberikan informasi-informasi ataupun melakukan berbagai strategi intervensi untuk perubahan perilaku" "

Wahyu Setiawan

Survei SMRC Hanya 46% Warga yang Bersedia Divaksin, Begini Tanggapan Kemenkes
Menkes Budi Gunadi pantau vaksinasi COVID-19 AstraZeneca di Ponpes Lirboyo, Kota Kediri, Jatim, Selasa (23/3/2021). (Antara/Prasetia Fauzani)

KBR, Jakarta-   Kementerian Kesehatan yakin masyarakat yang semula menolak divaksin, akan berubah pikiran. Sebelumnya dari hasil survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), hanya 46 persen masyarakat yang secara tegas bersedia melakukan vaksinasi Covid-19. Sisanya: tidak mau divaksin, masih pikir-pikir, dan tidak menjawab.

Juru Bicara Vaksin Covid-19 dari Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, beberapa kasus masyarakat yang menolak divaksin pada akhirnya bersedia untuk disuntik. Kata Nadia, mereka cenderung bersikap menunggu dan mengamati terlebih dahulu sebelum divaksin. Kasus-kasus seperti itu, klaim Nadia, beberapa kali ditemui saat program vaksinasi di pasar-pasar.

"Jadi ini saya rasa sih kami mengapresiasi hasil temuan-temuan ini. Dan memang kami juga mengetahui cenderung tidak mau divaksin itu biasanya karena wait and see. Jadi yang kalau melihat 46 persen warga menyatakan secara tegas, tapi yang mengatakan tidak mau divaksin 29 persen dan 23 persen yang masih ragu. Kalau kita lihat datanya saat ini ya, untuk tenaga kesehatan kita tidak mengalami kendala terkait yang tidak mau divaksin," kata Nadia dalam rilis survei nasional SMRC, Selasa (23/3/2021).

Dia melanjutkan, "tapi tentunya karena survei ini di dalam masyarakat, kita harus lihat lagi apakah nanti khususnya setelah tahap kedua ini, dari target 21,5 juta lansia dan 16,9 juta pekerja publik itu apakah kita memang melihat jumlah proporsi sasaran yang tidak mau divaksin sebanyak kurang lebih ini 30 persen."

Nadia mengatakan, pemerintah akan terus melanjutkan program vaksinasi meski ada beberapa masyarakat yang menolak. Jika berkaca pada hasil survei SMRC, ada 60-an persen masyarakat potensial yang bersedia divaksin. Dengan asumsi kelompok yang masih pikir-pikir dan tak menjawab, dimasukan ke dalam kelompok potensial divaksin.

Di sisi lain, ia menegaskan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi dan meyakinkan masyarakat yang masih menolak divaksin, untuk bersedia disuntik. Sehingga semua masyarakat bisa mendapat perlindungan dari program vaksinasi.

"Mengoptimalkan 60 persen yang masih dan yang mau divaksin. Ini juga bisa kita tetap kita lakukan. Tapi tetap artinya bagaimana yang masih menolak ini tetap kita edukasi dan persuasif tentunya mau menerima vaksin ini. Karena vaksin ini kan adalah tujuan kita adalah membentuk kekebalan bersama. Dan kekebalan bersama ini artinya semua orang memang harus mau divaksin supaya tadi, muncul kekebalan bersama tadi. Nah tentunya yang tidak mau divaksin tetap harus kita edukasi, tetap harus kita intervensi dengan memberikan tentunya informasi-informasi ataupun melakukan berbagai strategi intervensi untuk perubahan perilaku supaya mau menerima vaksin." Ujar dia. 

Sebelumnya survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengenai sikap dan perilaku warga terhadap vaksin, menunjukkan 29 persen warga menyatakan tidak mau divaksin, 23 persen masih pikir-pikir dulu, dan 2 persen tidak menjawab.

Direktur Riset SMRC Deni Irvani menyebut, temuan ini perlu mendapat perhatian serius, sebab hanya 61 persen warga yang bersedia divaksin tidak memenuhi target minimal 70 persen untuk mencapai herd immunity atau kekebalan kelompok nasional.

"Yang bersedia divaksin potensial hanya 61 persen. Ini dari asumsi kalau yang masih pikir-pikir dan tak menjawab terdistribusi secara proporsional. Proporsi ini tentu tidak memenuhi target minimal 70 persen untuk membuat herd immunity nasional. Karena itu penggalakan atau kalau perlu kewajiban vaksinasi menjadi alternatif untuk mencapai target jumlah minimal," kata Deni saat menyampaikan hasil rilis secara daring, Selasa (23/3/2021).

Baca: Vaksinasi Covid-19, Survei IPI: Lebih 40 Persen Responden Enggan

Hasil survei juga menunjukkan bahwa persentase tertinggi warga yang menolak untuk divaksin Covid-19 ditemukan di DKI Jakarta (33%), Jawa Timur (32%), dan Banten (31%). Sementara persentase terendah penolakan untuk divaksin ditemukan di Jawa Tengah (20%).

Deni menyebut, temuan ini mengkhawatirkan, mengingat DKI adalah daerah yang yang memiliki tingkat penyebaran Covid-19 tertinggi di Indonesia. Menurut Deni, tingginya tingkat penolakan terhadap vaksin di DKI Jakarta tampaknya sejalan dengan persepsi tentang keamanan vaksin. 

Di DKI Jakarta, persentase warga yang tidak percaya bahwa vaksin dari pemerintah aman mencapai 31%. Di sisi lain, hanya 19% warga Jawa Tengah yang tidak percaya vaksin dari pemerintah aman.

Survei yang mencakup semua provinsi di Indonesia ini dilakukan pada 28 Februari 2021 – 8 Maret 2021 dengan metode wawancara tatap muka. Survei ini melibatkan 1220 responden yang dipilih secara acak, dengan margin of error 3,07%.

Editor: Rony Sitanggang


Redaksi KBR juga mengajak untuk bersama melawan virus Covid-19. Selalu menerapkan protokol kesehatan dalam setiap kegiatan dengan 3M, yakni; Memakai Masker, Menjaga Jarak dan Mencuci Tangan dengan Sabun.

  • COVID-19
  • #cucitanganpakaisabun
  • #IngatPesanIbu
  • #Takkenalmakatakkebal
  • vaksin
  • #satgascovid19
  • #vaksinasicovid-19
  • #KBRLawanCovid19
  • #jagajarak
  • #pakaimasker

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!