BERITA

Kontradiksi Aturan Pemerintah Tangani Pandemi

Kontradiksi Aturan Pemerintah Tangani Pandemi
Pelaksanaan oprasi yustisi protokol kesehatan di Serang, Banten

KBR, Jakarta - Setahun pandemi covid-19 membuahkan banyak peraturan baru dikeluarkan pemerintah. Apalagi dalam hal pembatasan pergerakan masyarakat. Mulai dari pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sampai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro di 15 provinsi.

Namun, kalangan epidemiolog melihat peraturan pembatasan tersebut bertolak belakang dengan peraturan lain yang dibuat pemerintah. Salah satunya pembukaan kembali sekolah tatap muka, pembukaan pagelaran seni budaya hingga melonggarkan persyaratan bertransportasi. 

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan peraturan yang dikeluarkan pemerintah sering kali kontradiktif.

"Sebetulnya kalau disebut kontradiktif, iya. Kalau dengan strategi public health yang ideal, itu saling bertentangan sebetulnya. Namun inilah pendekatan yang diambil pemerintah ya, ala Indonesia gitu. Namun saya ingatkan sekali lagi, kalau ini kita tidak perkuat di aspek apapun bentuknya strategi ini, mau dia PPKM mau apapun, mau pelonggaran, kalau tidak ada penguatan di aspek 3T ini, tidak akan berdampak signifikan," ujar Dicky, saat dihubungi KBR, Selasa (23/3/2021).

Dicky mengaku pernah diundang pemerintah ketika awal pemerintah menerapkan PPKM jilid pertama. Hanya saja, kata Dicky, saran yang ia sampaikan ke pemerintah tidak diikuti semua.

"Jadi, kenapa saya berkesimpulan bahwa tahun kedua ini pemerintah lebih fokus atau lebih titik beratnya pada sektor ekonomi, ya karena akhirnya pilihan yang diambil pemerintah seperti itu. Kalau bicara pada fokus kesehatan, masukan-masukan yang saya ataupun misalnya yang lain memberikan, itu jelas sekali. Bahwa kita perlu penguatan, terutama waktu itu kita masih konteks PPKM Jawa-Bali. Terutama juga kita berbicara masalah manajemen data juga yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan. Ya itu hak dari pemerintah, namun kita teruslah mengingatkan," tambah Dicky.

Blunder lain yang dibuat pemerintah, menurut Dicky, adalah penggunaan alat deteksi Covid-19 lewat embusan napas, GeNose. Pemerintah memutuskan untuk menggunakan GeNose sebagai syarat bepergian menggunakan kereta api, dengan alasan biaya yang dikeluarkan lebih murah dibanding dengan tes usap (swab) PCR ataupun Antigen.

Padahal jauh sebelumnya pemerintah membuat aturan ketat dengan menerapkan syarat tes Covid-19, agar mobilitas masyarakat bisa ditekan. Sehingga sebaran virus Covid-19 tidak meluas dari daerah dengan zona merah ke daerah lain.

Belakangan setelah program vaksinasi berjalan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sempat berencana untuk menggunakan sertifikat vaksinasi sebagai syarat bepergian. Namun rencana itu tidak jadi dibelakukan lantaran masih akan dikaji.

"Misalnya kalau yang sudah vaksin kita akan kasih sertifikat. Tapi sertifikatnya bukan sertifikat fisik, tapi sertifikat digital yang bisa ditaruh di Apple wallet atau Google wallet, sehingga kalau beliau terbang atau mau pesan tiket di Traveloka tidak usah menunjukkan PCR tes atau Antigen, dengan menggunakan elektronik health sertification itu dia langsung bisa lolos dan itu terintegrasi," kata Budi Gunadi. 

Editor: Dwi Reinjani

  • #pandemi covid-19
  • PPKM Mikro
  • #vaksinasicovid-19

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!