KBR, Jakarta- Pekerja Migran Indonesia Siti Aisyah akhirnya
menghirup udara segar Indonesia, setelah lebih dari dua tahun mendekam
di penjara Malaysia atas dakwaan terlibat pembunuhan. Aisyah bebas karena
Jaksa Penuntut Umum Malaysia mencabut dakwaan pidana yang sempat
menjeratnya.
Aisyah tampak bahagia ketika bertemu dengan para jurnalis, setibanya di
Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Senin (11/3), sore. Dia tak
sabar berbagi cerita tentang pengalaman menjalani proses hukum di
Malaysia, kepada keluarganya.
"Perasaan saya senang. Gak bisa diungkapin dengan kata-kata. Pihak Malaysia melayani saya dengan baik," kata Aisyah.
Siti Aisyah adalah Warga Negara Indonesia yang didakwa telah membunuh
Kim Jong Jam di Bandara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia pada 13 Februari 2017. Kim Jong
Nam adalah kakak tiri presiden Korea Utara Kim Jong Un. Dalam kasus ini ancamannya bisa berupa hukuman mati.
Kementerian Hukum dan HAM menyebut Aisyah bebas setelah mengirimkan surat kepada
Kejaksaan Agung Malaysia. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan, surat tersebut berisi
tiga poin. Pertama, Siti Aisyah tidak dengan niat membunuh Kim Jong Nam.
Ketika membunuh Kim, dia hanya sebagai peserta reality show yang disuruh
untuk menjahili Kim. Ternyata, si penyuruh telah mengolesi
racun pada sapu tangan yang digunakan Aisyah untuk menjahili itu.
Poin kedua dalam surat Yasonna kepada Jaksa Agung Malaysia menegaskan,
Aisyah adalah korban tipu muslihat. Dia tidak pernah bermaksud membunuh
Kim.
Ketiga, Aisyah tidak mendapat keuntungan sedikitpun dari tindakan dia mengisengi Kim.
"Atas perintah presiden, kami diperintahkan berkoordinasi dengan pemerintah Malaysia untuk membebaskan," kata Yasonna.
Yasonna menjelaskan, hukum acara pidana Malaysia memungkinkan Jaksa
Penuntut Umum mencabut dakwaan pidana. Inilah yang menjadi peluang
pemerintah Indonesia membebaskan Aisyah.
Kementerian luar negeri mengklaim perlindungan warga negara Indonesia
(WNI) di Luar negeri merupakan salah satu prioritas pemerintah bagi
warga negara yang terjerat kasus hukum di luar negeri.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan pendampingan yang diprioritaskan agar hak hukum para WNI tersebut tidak terkurangi.
“Mereka yang menghadapi kasus hukum yang dilakukan pemerintah adalah
melakukan pendampingan kekonseleran. intinya adalah 1 agar hak-hak
hukumnya dia tidak terkurangkan kalau memang terbukti dan sebagainya . Masalah kriminal nya kan menjadi tanggung jawab mereka tetapi pemerintah
harus memastikan bahwa hak hukum dia tidak terkurangkan. Di
situlah diperlukan pendampingan dari pemerintah,” kata Retno saat
ditemui di gedung DPR, Jakarta, Senin (11/03/2019).
Sebelumnya Wakil Ketua Komisi I DPR, Satria Yudha mengapresiasi pemerintah Indonesia yang berhasil memberikan
perlindungan hukum terhadap Siti Aisyah. Anggota fraksi Golkat itu meminta
kementerian luar negeri berperan aktif melindungi Warga
Negara Indonesia di luar negeri.
"Nah ini saya pikir itu memang penting sekali bahwa Indonesia harus
terus-menerus dalam politik luar negeri kita untuk melindungi warga
negara kita," ucap Satria di gedung DPR, Senin, (11/3/2019).
Sementara itu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI)
menyatakan terus fokus untuk melindungi TKI di luar negeri, khususnya
yang berkaitan dengan faktor industrial. Kepala BNP2TKI, Nusron Wahid
mengatakan, hingga saat ini telah menangani ribuan kasus, yang menimpa para TKI diluar negeri,
khususnya yang berkaitan dengan industrial, seperti masalah gaji, jam
kerja, maupun faktor industrial lainnya.
Dia menyebut, perlindungan
khusus bagi TKI yang terkena permasalahan hukum di luar negeri,
merupakan tugas dari Direktorat perlindungan hukum Kementerian luar
negeri, yang diselesaikan secara diplomatik.
"Soal penanganan kasus di luar negeri itu ada tim bersama gabungan,
leadnya itu direktorat perlindungan WNI Kemlu, karena itu sudah
menggunakan instrumen diplomatik, dan yang punya instrumen diplomatik
itu Kemlu. (BNP2TKI) Tidak ada kesulitan, nyatanya kan setiap case kan
biasa, satu tahun itu kita menangani kasus hampir rata-rata 6.000 kasus. Orang tidak dibayar dan lainnya, dan 85 sampai 90
persen itu tertangani dengan baik," klaim Nusron kepada KBR, Senin
(11/3/2019).
Nusron mengatakan, bahwa seluruh proses perlindungan yang bersifat
industrial akan menjadi tanggung jawab dari BNP2TKI, sedangkan
perlindungan yang bersifat nonindustrial, akan menjadi ranah dari
Direktorat perlindungan hukum WNI kemlu. Dia juga menambahkan, bahwa
penyelesaian kasus-kasus hukum yang selama ini menjerat WNI di luar
negeri, akan diselesaikan melalui jalur diplomatik.
"Jika case itu bersifat nonindustrial maka itu masuk wilayah isu-isu
daripada diplomatik, kalau itu masuk casenya industrial, itu masuk di
BNP2TKI. Apa contohnya isu industrial itu, tidak digaji kemudian
dieksploitasi kerja di luar jam kerja kemudian masalah pesangon tidak
dibayar. Tapi kalau kemudian non industrial, seperti membunuh orang, dan
sebagainya itu menjadi wilayah isu diplomatik," ujar Nusron.
Sementara itu Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mendesak pemulangkan ratusan TKI yang sedang menanti proses hukum atau
vonis mati di luar negeri, setelah membebaskan Siti Aisyah, TKI yang
dituduh membunuh di Malaysia. Wahyu menilai, pemerintah bisa menggunakan
strategi yang mengombinasikan pendampingan hukum di pengadilan dengan
diplomasi antarnegara.
Selain itu, Wahyu juga menyarankan pemerintah
memoratorium hukuman mati, agar legitimasi Indonesia semakin kuat untuk
membebaskan warga negaranya yang terancam vonis mati di luar negeri.
"Pelajaran ini yang harusnya terus jadi pegangan bagi pemerintah
Indonesia untuk melakukan advokasi hukuman mati, karena masih ada
ratusan. Saya rasa untuk Malaysia agak mudah. Karena secara politik,
menerapkan moratorium hukuman mati. Tapi kan ini juga PR untuk TKI kita
yang di Saudi Arabia," kata Wahyu kepada KBR, Senin (11/03/2019).
Migrant Care mencatat saat ini ada ratusan TKI terancam hukuman mati di
luar negeri. Mereka terbanyak berada di Malaysia, sebanyak 114 orang,
diikuti Arab Saudi ada 14 orang. Menurut Wahyu, pemerintah bisa
menyelamatkan para TKI tersebut dengan mengikuti metode untuk Siti
Aisyah, yakni antara advokasi hukum dan diplomasi antarnegara.
Wahyu meminta, pemerintah memperbaiki penerapan di
dalam negeri, seperti menghapus hukuman mati, termasuk yang
saat ini dijatuhkan pada beberapa WNA.
Editor: Rony Sitanggang