NASIONAL

Rektor Beredel Redaksi 'Suara USU', Menristekdikti: Tidak Boleh ada Diskriminasi

Rektor Beredel Redaksi 'Suara USU',  Menristekdikti: Tidak Boleh ada Diskriminasi

KBR, Jakarta–  Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menyerahkan kepada   kampus terkait perombakan redaksi lembaga pers mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, karena memuat cerpen yang dinilai bertema LGBT. Menristekdikti Mohammad Nasir mengatakan, kampus dapat menindak jika hal itu dianggap melanggar etika dan merusak tatanan kampus.

Nasir menegaskan, tidak boleh ada diskriminasi terhadap LGBT di dalam kampus.

"Itu kan melanggar kode etik, kalau urusan LGBT itu urusan kampus ya. Kalau Kemenristekdikti sepanjang itu tidak melanggar masalah akademik silakan, kalo itu melanggar etika itu urusannya nanti kampus lah yang tindaklanjuti," kata Nasir di kantor Kemenristekdikti Jakarta, Selasa (26/3/2019).


Nasir mengatakan, kampus adalah ruang ilmiah yang tidak boleh ada diskriminasi di dalamnya.

"Kampus itu adalah masyarakat ilmiah yang penting tidak melakukan diskriminasi, dalam semua elemen bangsa,  ini yang tidak boleh. Kalau terjadi diskriminasi kami larang," imbuhnya.

Baca juga:


Sebelumnya Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik menyesalkan terjadinya pemberhentian semua pengurus unit kegiatan mahasiswa Suara Universitas Sumatera Utara (USU).


Buntut dari pemberhentian itu dikarenakan semua anggota pengurus Suara USU sepakat satu suara jika tidak ada kesalahan dari cerpen berjudul 'Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya'. Cerpen itu sebelumnya diduga mengenai kelompok lesbian gay biseksual transgender (LGBT).


Taufan mengatakan ia membaca cerpen itu sebanyak dua kali dan tidak menemukan masalah atau propaganda untuk mengajak pembaca ke arah LGBT.


“Kami sangat menyesalkan kejadian itu. Saya sudah baca cerpen itu. Menurut saya tidak ada yang membahayakan, karena itu adalah tulisan. Dia kan ingin menyampaikan. Kalau pun kita anggap sesuatu bukan fiksi, iya. Tapi misalnya pengalaman pribadi atau pengalaman seseorang yang ditulis oleh penulisnya, kan dia hanya menjelaskan bagaimana sesuatu yang dia alami; dia sebagai seorang lesbian, bagaimana dia terkucil, di sini dianggap salah, di sana dianggap salah. Jadi, ini kan keluhan hatinya,” kata Taufan kepada KBR, Jakarta, Selasa (26/3/2019).



Baca juga:


Editor: Rony Sitanggang

  • LGBT
  • diskriminasi LGBT
  • Suara USU
  • Komnas HAM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!