RUANG PUBLIK

Peneliti: Aktor Bencana Tambang Perlu Diproses Hukum Pidana

Peneliti: Aktor Bencana Tambang Perlu Diproses Hukum Pidana
Ilustrasi. Aktivitas tambang pasir tradisional. (Foto: bappeda.jatimprov.go.id)

Akhir Februari 2019, kasus bencana pertambangan terjadi di Desa Bakan, Boolang Mongondouw, Sulawesi Utara. Di sana, sebuah tambang emas tradisional longsor dan menimbun sejumlah penambang.

Menurut keterangan resmi BNPB (4/3/2019), sejauh ini tim SAR gabungan baru berhasil mengevakuasi 28 orang, di mana yang selamat  19 orang sedangkan 9 lainnya meninggal dunia.

BNPB juga menyebut bahwa ada puluhan penambang lain yang masih tertimbun longsoran. Ada yang mengatakan 30 orang, 60 orang, bahkan 100 orang.

Saat bencana terjadi memang ada banyak penambang yang sedang bekerja, baik di lubang tambang besar maupun di lubang kecil. Tapi sampai sekarang jumlah totalnya belum bisa dipastikan.

Dalam kasus semacam ini, siapa yang harus bertanggung jawab?


Baca Juga: Longsor, Pemerintah Dituding Biarkan Ribuan Tambang Abaikan Keselamatan


Hukum Pidana untuk Bencana Pertambangan

Kasus longsoran tambang di Boolang Mongondouw bukan satu-satunya bencana pertambangan di Indonesia.

Menurut Reine Rofiana, dosen sekaligus peneliti hukum dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), kasus bencana tambang yang memakan korban jiwa telah terjadi berulang kali di berbagai wilayah Indonesia.

Dalam kasus-kasus tersebut, umumnya perusahaan tambang yang terlibat hanya membayar uang ganti rugi saja. Entah itu membayar ganti rugi kerusakan lingkungan, atau memberi santunan kepada keluarga korban.

Namun Reine berpendapat, mekanisme semacam itu hanya menyelesaikan segi keperdataan saja. Mekanisme ganti rugi juga kurang bisa memberikan efek jera, hingga kasus serupa rawan terjadi lagi di masa mendatang.

Untuk mencegah agar kasus serupa tidak terus berulang, Reine menillai bahwa aktor-aktor yang terkait bencana pertambangan perlu diproses hukum pidana.

Dalam makalahnya yang berjudul Perspektif Pidana Terhadap Peristiwa Bencana Pertambangan (2018), Reine menyebut sejumlah pasal hukum untuk memidanakan aktor-aktor terkait, mulai dari pemerintah hingga perusahaan tambang.


Pidana untuk Pejabat Berwenang

Reine menjelaskan bahwa setiap aktivitas pengelolaan tambang harus didasarkan pada asas-asas yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UU tersebut menyebut 14 asas, di antaranya adalah asas tanggung jawab negara, asas kehati-hatian, asas keadilan dan lain-lainnya.

Mengacu pada asas tersebut, negara seharusnya bertanggung jawab untuk menjaga agar setiap proses penambangan tidak menimbulkan bencana.

Pihak-pihak yang melanggar ketentuan tersebut, termasuk pemerintah, bisa dipidana dengan landasan UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 112 yang berbunyi:

“Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”


Pidana untuk Perusahaan Tambang

Di samping asas tanggung jawab negara yang harus dipenuhi pemerintah, ada juga sejumlah asas yang harus dipenuhi perusahaan tambang.

Asas tersebut mencakup kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan, asas manfaat, asas kehati-hatian, dan lain sebagainya.

Setiap perusahaan tambang yang melanggar asas tersebut bisa dijerat pidana dengan UU No. 32 Tahun 2019 Pasal 112 seperti yang telah disebut di atas.

Aktor-aktor terkait bencana pertambangan juga bisa dijerat dengan KUHP Pidana Pasal 359 yang berbunyi:

“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”

Menurut Reine, penerapan hukum pidana untuk bencana pertambangan ini penting sebagai langkah preventif (pencegahan) sekaligus sebagai langkah represif (pengekangan).

Dengan itu, diharapkan pemerintah dan perusahaan bisa lebih peka dan bertanggung jawab dalam mengelola aktivitas pertambangan.

(Sumber: Perspektif Pidana Terhadap Peristiwa Bencana Pertambangan, Jurnal Legalitas, 2018)

 

  • bencana tambang
  • kecelakaan tambang

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!