BERITA

Minim Perlindungan, Pemerintah Diminta Revisi Kebijakan TKI di Indonesia

"Migrant care mengatakan dari 27 kebijakan pemerintah yang dikaji lembaganya tidak ada satupun yang berpihak kepada TKI."

Sasmito

Minim Perlindungan, Pemerintah Diminta Revisi Kebijakan TKI di Indonesia
Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia. Foto: Antara

KBR, Jakarta- Migrant Care mendorong pemerintah merevisi kebijakan migrasi tenaga kerja Indonesia (TKI) yang tidak berpihak kepada pekerja Indonesia. Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah mengatakan, kebijakan pemerintah saat ini cenderung tidak berpedoman kepada Hak Asasi Manusia (HAM). Akibatnya, pekerja Indonesia, khususnya buruh migran perempuan Indonesia kerap dieksploitasi di luar negeri.

"Tahun ini Indonesia sebagai negara yang meratifikasi konvensi buruh migran. Saat ini deadline untuk meratifikasi. Baik dalam kebijakan nasional maupun di dalam tata kelola yang berspektif HAM," jelasnya

Migrant care mengatakan dari 27 kebijakan pemerintah yang dikaji lembaganya tidak ada satupun yang berpihak kepada TKI. Kebijakan itu berupa MoU antara Indonesia dengan negara penerima, UU No.39/2004 tentang penempatan TKI ke luar negeri, Keppres dan Kepmen. Karena itu, kata Anis perlu ada upaya memasukkan konvensi buruh migran dalam revisi UU No.39/2004.

"Saat ini juga momentum UU No.39/2004 yang sedang menjadi prioritas prolegnas. Kita tentu berharap bahwa prinsip UU ini menjadi salah satu momentum langkah yang kita lakukan," imbuhnya.

Meski di tingkatan kebijakan nasional tidak berpihak kepada HAM, tapi beberapa kebijakan di daerah ada yang berpihak kepada HAM dan TKI. Semisal Perda No.20 tahun 2015 tentang perlindungan TKI di Lembata, NTT dan Peraturan Desa di Desa Krandegan Kebumen. 

Editor: Malika

  • migrant care
  • Buruh migran
  • anis hidayah
  • konvensi buruh migran

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!