Bagikan:

Kasus Konflik Agraria Masyarakat Adat Meningkat 2 Kali Lipat

"1.213 pada tahun 2013, dan melonjak hingga 2.483 berkas pengaduan di tahun 2014,"

BERITA | NASIONAL

Rabu, 16 Mar 2016 15:13 WIB

Kasus Konflik Agraria Masyarakat Adat Meningkat 2 Kali Lipat

Ilustrasi: Masyarakat adat Badui, Banten.

KBR, Jakarta- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat konflik yang melibatkan masyarakat hukum adat di kawasan hutan yang diklaim sebagai hutan Negara semakin meningkat. Kasusnya juga cenderung tidak terselesaikan dari tahun ke tahun. Hal itu tertuang di dalam empat buku hasil inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan.

Komisioner Komnas HAM, Imdaddun Rahmat mengatakan, Komnas HAM mencatat sekira 20 persen dari seluruh pengaduan yang diterima adalah soal sengketa pertanahan.

"Pada tahun 2012 terdapat 1.123 berkas pengaduan kategori agraria lalu meningkat menjadi 1.213 pada tahun 2013, dan melonjak hingga 2.483 berkas pengaduan di tahun 2014," ujarnya dalam acara Peluncuran Buku Inkuiri Nasional Komnas HAM RI di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta, Rabu (16/03).

Selain itu kata dia, untuk wilayah penyelidikannya meliputi soal pelanggaran hak perempuan adat dalam pengelolan hutan, konflik agraria masyarakat hukum adat di kawasan hutan di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara serta Papua.

"71,06 persen dari 31.957 desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan yang diklaim milik negara, menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Namun ironisnya, sampai tahun 2014 hanya 0,5 juta hektar kawasan hutan yang dibuka aksesnya kepada puluhan kelompok masyarakat sekitar hutan dengan waktu yang terbatas dan setelah melalui prosedur administrasi yang rumit serat panjang," ujarnya.

Kata dia, buku inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan ini merupakan tanggapan Komnas HAM atas Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35 tahun 2012 tentang kehutanan. Oleh karenanya dia berharap pemerintah bisa menjadikan buku tersebut sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah tersebut.

"Komnas Ham Berpandangan bahwa Putusan MK tersebut merupakan suatu terobosan hukum yang penting dalam proses pembaharuan hukum karena merupakan pengakuan Negara atas keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya yang sejalan dengan prinsip penghormatan hak-hak asasi manusia," ujarnya.

Pada Mei 2014 Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi yang diajukan  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat yaitu Kanegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu. MK membatalkan sejumlah kata dalam UU Kehutanan. Di antaranya menghapus kata negara dalam pasal 1 angka 6 UU kehutanan. Kalimat dalam aturan itu kini menjadi; "Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat".

Dalam putusannya, MK membatalkan sejumlah kata, frasa dan ayat dalam UU Kehutanan itu. Misalnya, MK menghapus kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, sehingga Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Dengan demikian status hutan kini ada dua yakni hutan negara dan hutan adat.

Editor: Rony Sitanggang


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

BERITA LAINNYA - NASIONAL

Kabar Baru Jam 7

Kabar Baru Jam 8

Urgensi Penerapan Cukai Minuman Berpemanis

Kabar Baru Jam 10

Kabar Baru Jam 11

Most Popular / Trending