NASIONAL

Viral Istilah Childfree dan Bagaimana Menyikapi Pilihan Seseorang?

"Childfree adalah hidup tanpa anak atau memiliki keturunan setelah menikah."

Lea Citra

Podcast What's Trending
Podcast What's Trending

KBR, Jakarta- Belakangan netizen +62 tengah ramai membicarakan soal pro-kontra sebuah keluarga atau perempuan yang tidak mau memiliki anak atau kerap disebut childfree, usai salah satu influenser atau vloger mengungkit keputusan yang ditempuhnya itu.

Nah melansir laman SehatQ dari Kementerian Kesehatan. Childfree adalah hidup tanpa anak atau memiliki keturunan setelah menikah. Kondisi ini bisa terjadi berdasarkan dua jenis kemungkinan, yaitu kondisi fisik yang tak memungkinkan atau memang sudah menjadi pilihan hidup berdasarkan keputusan bersama.

Sementara itu pada laman unair.ac.id, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Bagong Suryanto, M.Si., pernah menjelaskan bahwa secara sosial status dan eksistensi perempuan pada jaman dulu dilihat dari seberapa banyak dia bisa melahirkan anak. Akan tetapi, indikator tersebut saat ini sudah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman.

Menurutnya, kesuksesan perempuan kini sudah tidak lagi diukur dari ranah domestik, melainkan berdasar sektor publik seperti karir, prestasi, dan indikator baru lainnya.

“Jadi, kalau sekarang muncul perempuan yang mengumumkan tidak ingin punya anak, itu adalah perkembangan baru. Sah-sah saja dilakukan," ujarnya.  

Pilihan untuk memiliki anak atau tidak, menurut Prof. Bagong merupakan suatu kebebasan yang sifatnya personal.

"Sebagai hak pribadi, boleh-boleh saja mereka memilih seperti itu dan masyarakat tidak perlu merespons secara serius," pungkas Bagong.

Gimana dari segi ekonomi?

Ekonom Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dra Ec Dyah Wulansari MEcDev PhD mengatakan, dalam perspektif ekonomi salah satu keuntungan childfree adalah bertambahnya produktivitas dalam bekerja.

“Bagi pengusaha itu seneng juga ya, karena si wanita tidak punya anak, dia bisa bekerja dan tidak cuti melahirkan. Itukan ada undang-undangnya, bahwa wanita yang bekerja, dan dia melahirkan, maka berhak mendapatkan cuti. Itu sisi pengusaha,” tambahnya.

Meski begitu, fenomena tersebut juga telah mempengaruhi demografi beberapa negara, sebut saja Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara ini bahkan memberikan insentif untuk mendorong warganya agar memiliki anak karena tingkat kelahiran yang semakin turun. Tren angka kelahiran yang rendah dalam jangka panjang dapat menyebabkan krisis sumber daya manusia dan memengaruhi ekonomi sebuah negara.

“Kalau di luar, negara yang penduduknya sedikit, mungkin boleh dikatakan krisis sumber daya sehingga harga tenaga kerja mahal. Mereka akan diganti oleh mesin-mesin, itu kan akan berkembang seperti itu,” ucap Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNAIR tersebut.

Baca juga:

Sudahkah Wisatawan Sadar Bencana saat Melancong?

Diabetes pada Anak Meningkat, Cukai Minuman Berpemanis Makin Mendesak

Gamophobia Bikin Sulit Jalin Hubungan

Pandangan soal Childfree Menurut Aktivis Perempuan

Budhis Utami selaku Deputi Program Institut Kapal Perempuan mengungkapkan, praktek pemaksaan memiliki anak di Indonesia masih terjadi. Kenapa? Karena masih adanya anggapan perempuan yang tidak bisa atau tidak mau memiliki anak tidaklah sempurna atau bukan wanita seutuhnya. Menurut Budhis anggapan-anggapan ini lah yang mestinya dikikis.

"Kalau dari perspektif perempuan ya, itu punya anak dan tidak punya anak itu adalah pilihan gitu ya. Dan itu sebenarnya yang paling berhak menentukan itu adalah perempuan. Karena apa? Karena dia yang akan hamil, melahirkan, bahkan mungkin perawatan itu akan dia yang melakukannya. Karena di dalam konsep gender itu kan, perempuan diwajibkan, diharuskan merawat anak gitu. Tapi tentu saja itu harus kesepakatan dengan pasangan ya" ungkapnya kepada Podcast What's Trending (13/2).

Sedangkan Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menekankan, perempuan memiliki hak untuk memutuskan mau memiliki anak atau tidak, kapan mau memiliki anak dan berapa jumlahnya. Meski begitu, Siti juga menilai persoalan childfree dalam sebuah keluarga pasti memiliki alasan masing-masing yang harus dihormati oleh masyarakat atau lingkungan.

"Tahap ini menurutku. Mari kita saling menghormati pandangan itu, tidak perlu mempertajamnya. Dalam artian sampai misalnya, ibaratnya membully gitu ya. Satu yang pendapat yang pro, atau yang pendapat yang kontrak gitu. Posisinya menurutku saat ini, ya kita saling menghormati pandangan dan pendapat terkait masalah memiliki anak atau tidak. Tapi tadi, kalau konteks perempuan. Perempuan memang memiliki hak, karena itu pilihan gitu ya," kata Siti.

Meski memiliki atau tidak memiliki anak merupakan hak, Siti mengungkapkan masih ada stigma yang melekat pada perempuan yang tidak mau atau tidak bisa memiliki anak.

"Memang betul ada stigma terhadap perempuan yang tidak atau belum memiliki anak, misalnya dibilang perempuan mandul gitu ya, tidak subur gitu kan. Bahkan pada tatanan alasan perceraian, itu dimungkinkan untuk diajukannya gugatan perceraian. Itu kan juga tidak adil ya, dan ibaratnya perempuan menjadi pihak yang paling disalahkan, ketika di dalam sebuah perkawinan itu tidak menghasilkan anak. Padahal bisa jadi, hal ini banyak faktor yang menyebabkan pasangan itu belum dikaruniai anak. Misalnya ya, bisa saja itu bersumber dari suaminya atau dari pasangannya" pungkasnya.

Mau tau lebih lanjut soal kontroversi Childfree? Yuk simak podcast What's Trending di link berikut ini:

  • Childfree
  • Anak
  • Miilki anak
  • Tak miliki anak
  • Tubuh pempuan
  • Podcast What's Trending

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!