NASIONAL

Diskriminasi di Dunia Maya

"Diskriminasi di media sosial diobrolin di podcast Diskusi Psikologi (Disko)"

Tim Disko

Diskusi Psikologi (Disko)
Diskusi Psikologi (Disko)

KBR, Jakarta- Diskriminasi masih menjadi persoalan sekaligus PR untuk dituntaskan hingga saat ini. Hal itu bisa dilihat dengan masih banyaknya kampanye soal antidiskriminasi. Baik kampanye antidiskriminasi terhadap perempuan, kelompok disabilitas, penyintas penyakit tertentu, hingga seruan antidiskriminasi terhadap suku, ras atau kelompok agama tertentu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara. Pembedaan perlakuan ini dilakukan berdasarkan alasan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya.

Tapi di jaman yang makin maju ini, diskriminasi tidak hanya terjadi di tengah masyarakat. Namun netizen di dunia digital bisa menjadi pelaku ataupun korban.

Berdasarkan laman Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), konten negatif yang ada di media sosial disebut-sebut sebagai pemicu diskriminasi. Konten ujaran kebencian, berita bohong dan sentimen bernada SARA (suku, ras dan agama) dinilai mendorong cara pandang yang negatif terhadap perbedaan.

Hal ini pun dikhawatirkan, sebab generasi muda telah menjadikan internet sebagai sebagai sumber rujukan utama dalam mencari informasi.

Baca juga:

Sudahkah Wisatawan Sadar Bencana saat Melancong?

Terhindar dari Hubungan Manipulatif

Cek Fakta: Narasi soal TNI Tancapkan Merah Putih di Wilayah Malaysia, Benarkah?

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia periode 2017–2021, Asfinawati menilai diskriminasi di media sosial bisa berefek sangat luas. Sebab karakter media sosial yang bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja dengan waktu yang cepat.

Asfin mengatakan, dampak diskriminasi di media sosial berpotensi lebih mengerikan. Lantaran diskriminasi ini erat kaitannya dengan stigma.

"Diskriminasikan intinya itu membeda-bedakan orang, melarang orang, mengecualikan orang, atau mengutamakan seseorang atau kelompok hanya karena perbedaan yang nggak bisa diubah juga, atau yang nggak masuk akal gitu ya. Maksudnya perbedaan itu perbedaan karena warna kulit, etnis, status sosial, pilihan politik, dan lain-lain. Intinya sih sesederhana itu, cuma akibatnya memang tidak sederhana," ujar Asfin kepada podcast Disko (22/12/21).

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia periode 2017–2021, Asfinawati mengungkap tren diskriminasi di dunia maya menjurus ke arah diskriminasi etnis, gender dan pilihan politik.

"Padahal kita dulu didengang-dengungkan soal SARA, ternyata itu enggak ngaruh ya. Bentuknya macam-macam ya. Dan dalam pengamatan kami, diskriminasi atau stigma atau cercaan di dunia online itu, itu bisa turun ke luar jaringan, ke luringnya. Dan itu mengerikan sekali ya. Jadi bisa ada akibat dari stigma, kemudian diskriminasi. Kemudian bisa ada penyergapan, penyerangan ke rumah atau tempat kerja, dan bahkan meminta orang-orang tertentu dikeluarkan dari tempat kerjanya. Jadi dampak ini tidak hanya berhenti dunia maya sebetulnya," pungkas Asfin.

Mau tau diskriminasi di dunia maya? Yuk dengarkan podcast diskusi psikologi (disko), hasil kerja sama dengan Engage Media di link berikut ini:

  • diskriminasi
  • Diskriminasi zaman now
  • Diskriminasi medsos
  • Medsos
  • Media sosial

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!