NASIONAL

Sejumlah Komoditas Pangan Langka Jelang Ramadan, Ini Catatan DPR dan Pedagang

"Naiknya harga cabai, daging sapi, dan gula di pasar menjelang Ramadan dianggap tak wajar oleh kalangan pedagang."

Muthia Kusuma, Dwi Reinjani

Sejumlah Komoditas Pangan Langka Jelang Ramadan, Ini Catatan DPR dan Pedagang
Satgas Pangan Kalteng berbincang dengan pedagang saat sidak minyak goreng di Pasar Kahayan, Palangkaraya, (10/2/2022). (ANTARA FOTO/Makna Zaezar)

KBR, Jakarta - DPR mendorong pemerintah memperhatikan kebutuhan pangan nasional jelang Ramadan dan Idulfitri. Anggota DPR bidang pertanian Ema Umiyyatul Chusnah mengatakan, ada kekurangan stok komoditas daging sapi, kedelai, hingga minyak goreng yang meresahkan masyarakat.

Dia merinci, berdasarkan neraca komoditas pangan strategis tahun 2022, stok daging sapi di Tanah Air masih kurang sekira 200 ribu ton dari total kebutuhan tahun ini sebanyak lebih 700 ribu ton.

"Itu untuk terkait dengan daging sapi. Terkait dengan cabai, InsyaAllah stok sudah mencukupi, hanya tata niaga yang harus kita awasi bersama," ucap Ema kepada KBR, Kamis, (24/2/2022).

"Minyak goreng Alhamdulillah harganya sudah ada kebijakan dari pemerintah, meskipun saat ini masih langka. Dan beberapa waktu lalu menjadi kepanikan masyarakat, khususnya pedagang, pelaku-pelaku usaha, dan emak-emak khususnya ibu rumah tangga, memang sangat resah. Mereka sulit mencari minyak goreng," tambahnya,

Meroketnya harga minyak goreng saat ini disebabkan naiknya harga minyak sawit dunia. Meski begitu, pemerintah sudah menetakan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Baca juga: Harga Minyak Goreng Masih Tinggi, Ekonom: Harusnya Subsidi Diberikan untuk Minyak Curah

Kemasan premium dibanderol Rp14 ribu/liter, kemasan sederhana Rp13.500/liter, kemudian kemasan curah Rp11.500/liter.

"Cuman yang perlu ada peningkatan, terkait pengawasan. Banyak minyak goreng saat ini masih menjadi, apa ya istilahnya, ada disimpan di gudang-gudang oleh pengusaha-pengusaha yang minyak tersebut tidak dikeluarkan. Dan inilah peran pemerintah dengan APH (aparat penegak hukum) untuk ada tindakan lebih lanjut agar masyarakat tidak sulit mencari minyak goreng," imbuhnya.

Perlu Impor Kedelai

Ema juga memberi catatan terkait stok pangan kedelai nasional. Dalam neraca komoditas pangan strategis tahun 2022, terdapat kekurangan stok sekira 2,5 juta ton dari total kebutuhan lebih 2,9 juta ton per tahun.

Menurutnya, perlu ada impor kedelai lantaran produksi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan nasional. Sebab dari pemantauannya, produksi dalam negeri cenderung turun tiap tahunnya.

Baca juga: Harga Kedelai Naik, Kemendag Akui Tidak Bisa Berbuat Banyak

"Di sisi lain perajin tidak mempertimbangkan kesulitan petani menanam kedelai. Karena kedelai impor, kendati sebagian besar hasil rekayasa genetika lebih menarik dan menghasilkan tahu tempe dengan kualitas yang cukup baik dan nilai impor kedelai per tahun akhirnya makin melambung. Dan ketergantungan impor kedelai untuk memenuhi konsumsi maupun kebutuhan industri dalam negeri makin tidak dapat terkendali. Inilah yang menjadi permasalahan nasional," sambung Ema.

Menurutnya, pengembangan tanaman kedelai di Indonesia kerap terkendala oleh persaingan penggunaan lahan dengan komoditas strategis yang lain. Selain itu, maraknya alih fungsi lahan di wilayah potensial juga menjadi masalah.

Ema mendorong pemerintah menjamin stok pangan terutama jelang Ramadan dan Idulfitri.

"Kedua, bagaimana juga kita duduk bersama membicarakan terkait tata kelola niaga terkait dengan komoditas jelang Ramadan dan Idulfitri. Dan kita juga ingin memastikan pemerintah untuk menurunkan ketergantungan impor. Bagaimana ini bisa turun dan kita bisa produksi sendiri dalam negeri," kata Ema.

Dia mengingatkan agar pemerintah memperketat pengawasan, sehingga tidak ada kelangkaan pangan maupun melambungnya sejumlah harga. Terlebih saat ini kondisi sosial ekonomi masyarakat tengah dilanda kesulitan akibat dari pandemi Covid-19.

Kenaikan Tak Wajar

Di tempat lain, naiknya harga cabai, daging sapi, dan gula di pasar menjelang Ramadan dianggap tak wajar oleh kalangan pedagang. Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Abdullah Mansuri mengatakan, kenaikan saat ini terlalu tinggi. Padahal jarak dengan bulan puasa masih cukup jauh.

"Sebenarnya enggak wajar ya, ini kan karena dipicu oleh tahu dan tempe yang naik. Terus dipicu oleh minyak goreng yang langka dan daging sapi yang terus naik. Sehingga beberapa komoditas lain juga terkerek naik. Apakah ini wajar? Enggak wajar, ini psikologis pasar sebenarnya dan ini yang membuat kita makin sulit, pedagang makin sulit," ujar Mansuri saat dihubungi KBR, hari ini.

Mansuri meminta pemerintah melakukan intervensi supaya kenaikan harga tidak makin tinggi mendekati bulan puasa. Menurutnya, opsi menjalankan operasi pasar bukan lagi pilihan tepat, karena dampaknya hanya sementara dan tidak signifikan terhadap penjual.

Baca juga: Stok Aman Jelang Ramadan, Satgas Pangan: Jangan Ada Panik Beli!

"Enggak, operasi pasar itu akan sulit membantu jika suplainya atau produksinya terganggu. Jadi percuma operasi pasar ini ibarat pemadam kebakaran gitu lah, Mbak. Kalau enggak dipadamin, ya enggak akan kelar-kelar gitu," ujarnya.

"Kalau bisa diredam pada fase ini, pada periode ini, pada saat sekarang harga itu bisa ditekan turun, mungkin di Ramadan tahun ini laju kenaikannya tidak akan tinggi. Tapi kalau dibiarkan, itu punya potensi tinggi di Ramadan yang akan datang dibanding tahun lalu, ini bisa jauh lebih tinggi," imbuhnya.

Sejak minggu lalu, harga komoditas pangan merangkak naik. Di beberapa tempat, bawang merah dibanderol dengan harga Rp41.000 per kilogram, naik Rp6.000 dibanding sebelumnya yakni Rp38.000.

Untuk daging sapi berkisar di antara Rp150.000 hingga Rp160.000 atau naik Rp15 -20 ribu per kilogram. Cabai merah dan rawit, naik Rp2.000 hingga Rp10.000 per kilogram.

Editor: Wahyu S.

  • komoditas pangan
  • minyak goreng langka
  • daging sapi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!