NASIONAL

DPR Ungkap Potensi Dampak Invasi Rusia, dari Gandum hingga Kilang Minyak di Tuban

"Jika pemerintah tidak berdiplomasi, maka invasi Rusia ke Ukraina akan berdampak langsung dan tak langsung terhadap perekonomian Indonesia. "

Dampak invasi Rusia terhadap ekonomi Indonesia
Prajurit membawa senapan mesin di garis depan di wilayah Donetsk, Ukraina, Senin (21/2/2022). (Foto: ANTARA/Reuters/Gleb Garanich/WSJ/djo)

KBR, Jakarta- Komisi bidang Energi ( Komisi VII) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendorong pemerintah untuk berdiplomasi dengan pemerintah Rusia yang kini tengah menginvasi Ukraina.

Ketua Komisi Energi, Sugeng Suparwoto beralasan, invasi yang dilakukan Rusia sudah melanggar konstitusi negara dan HAM, meski Negeri Salju itu berdalih serangan tersebut untuk membela dua wilayah separatis Ukraina.

Menurut Sugeng, jika pemerintah tidak berdiplomasi, maka invasi Rusia ke Ukraina akan berdampak langsung dan tak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Di antaranya kegiatan ekspor-impor Indonesia dengan negara-negara di Eropa Timur.

"Pengaruh langsung misalnya. Kita salah satu importir gandum. Agak besar itu proporsinya dari Ukraina. Dengan Ukraina yang juga Krimea sudah dikuasai Rusia, maka lalu lintas ekspor mereka sangat terbatas. Terlebih sekarang dengan perang. Itu yang langsung. Yang tidak langsung adalah bayangkan, dengan perang Rusia dengan Ukraina ini. Harga crude dunia naik tinggi sekali," ucap Sugeng kepada KBR, Jumat, (25/2/2022).

Harga Minyak Mentah Melambung

Ketua Komisi Energi, Sugeng Suparwoto menambahkan harga minyak mentah dunia langsung melambung seiring invasi tersebut. Ia merinci, per Jumat (25/02), harga minyak brent (BRENT CRUDE APR2) mencapai 103 dolar AS per barel (158,97 liter atau 42 galon). Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS melonjak menjadi 97,58 dolar AS per barel.

"Ketegangan Ukraina dan Rusia itu memancing crude, kenapa? Karena OPEC plus Rusia itu proporsi sumbangsih ke suplai crude dunia sangat besar. Rusia sendiri menyumbang crude kurang lebih Rp12 juta barel per hari, tengah-tengah 105 juta barel crude per hari. Dengan Rusia perang begini, maka harga crude dan juga gas itu naik tinggi. Naiknya crude ini sudah barang tentu memukul kita nantinya karena kita sekarang net imported untuk BBM," sambung Sugeng.

Ketua Grup Kerja Sama Antar Parlemen (GKSB) DPR RI-Parlemen Ukraina, Sugeng Suparwoto menambahkan, produksi BBM dalam negeri hanya sekira 700 ribu barel, sedangkan konsumsi nasional sebanyak 1,4 juta barel per hari.

Karena itu, jika harga BBM tidak dinaikkan, maka Pertamina diperkirakan akan merugi sekitar Rp105 triliun untuk jenis Pertalite, hingga akhir tahun ini. Sedangkan Pertamax berpotensi merugi hingga Rp27 triliun jika tak ada penyesuaian harga.

"Jadi total kerugian Pertamina jika tak ada penyesuaian harga hampir Rp105 triliun di akhir tahun. Kalau harga crude masih seperti hari ini, di atas 95 dolar AS per barel. Sekarang bahkan sudah menembus angka 100 dolar AS, itu implikasi tidak langsung," ucapnya.

Investasi Rusia dan Energi Terbarukan

Politikus Nasdem ini menambahkan, invasi Rusia ke Ukraina juga akan berdampak pada investasi Rusia di dalam negeri, salah satunya refinery (kilang minyak) di Tuban. Ia khawatir, jika Indonesia mengecam tindakan Rusia sehingga membuat kemarahan Negeri Beruang Putih itu, maka investasi senilai Rp58 triliun terancam gagal.

"Intinya perang Rusia dengan Ukraina, itu memukul kita banyak sekali dari segi ekonomi karena membuat harga-harga energi jadi naik. Dari neraca keuangan segi energi ini kita akan babak belur," ungkapnya.

Oleh karena itu, DPR dapil Kabupaten Cilacap dan Banyumas ini mendorong agar pemerintah mulai beralih dari energi fosil ke energi baru terbarukan. Dengan mempertimbangkan rentetan masalah energi fosil. Di antaranya defisit minyak yang mengganggu neraca dagang setiap harinya, hingga impor LPG sebanyak 10 juta metrik ton dengan 8 juta metrik ton di antaranya untuk menyuplai gas melon atau gas subsidi 3 kilogram.

"Ini merupakan lonceng keras sekali. Indonesia sebagai bangsa yang mau besar perlu energi tangguh, mandiri dan berkelanjutan, maka kita sudah waktunya beralih menuju energi baru terbarukan yang kita kaya juga, kita punya energi matahari dan panas bumi. Bahkan sudah waktunya energi nuklir," pungkasnya.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • Perekonomian Indonesia
  • Dampak Invasi Rusia ke Ukraina
  • Kerja Sama Indonesia dan Rusia
  • Kerja Sama Indonesia dan Ukraina
  • Invasi Rusia ke Ukraina
  • Rusia Serang Ukraina
  • Krisis Ukraina

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!