Article Image

NASIONAL

Booming NFT, Inovasi atau Spekulasi?

KBR, Jakarta- Ghozali effect membuat Non-Fungible Token (NFT) naik daun di Indonesia. 

Lewat swafoto yang dijual di platform OpenSea, Ghozali bisa mendapat uang hingga Rp1 miliar. 

Menurut Pengamat Ekonomi Digital Ibrahim Kholilul Rohman yang dilakukan Ghozali bukanlah hal baru.

Mike Winkelmann alias Beeple pada 2021 sudah lebih dulu menjual NFT berjudul "Everydays: the First 5000 Days".

Namun, di Indonesia, Ghozali yang memantik demam NFT.

“Begitu ada Ghozali yang lain ikut masuk. Karena digital product itu butuh pengguna yang banyak. Fenomena ini juga menguntungkan pada extension of NFT market di Indonesia,” kata Ibrahim.

Baca juga: Serok Fulus Youtuber, Emang Gampang?

Sultan Gustaf Al Ghozali viral setelah berhasil menjual swafoto yang dikumpulkan selama 5 tahun di platform OpenSea. (Dok: laman profil Ghozali di OpenSea)

Tak ada patokan harga untuk NFT, karena sifatnya yang unik. Itu sebab, NFT populer di kalangan seniman. Foto Ghozali yang terkesan 'biasa saja', ternyata bisa dihargai tinggi. 

“Di NFT ga ada demand dan supply standar yang menentukan harga. Jadi bisa eksplosif. Ada juga aset NFT yang cuma laku 1500, sudah dipasang berapapun. Artistry is one thing, tapi ada aspek spekulatif, aspek luck, dan lainnya,” jelas lelaki yang berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini.

Perkembangan NFT di tanah air, kata Ibrahim, harus direspon positif, sebagai salah satu inovasi dan peluang baru bagi artis untuk berkarya. Apalagi sektor seni ikut terpukul sepanjang pandemi Covid-19.

“Sekarang ga bisa ke pameran seni, sementara penikmat seni kan biasanya lintas negara. Dan NFT memungkinkan jenis aset seperti ini untuk dimonetisasi tanpa harus lewat channel conventional market,” ujarnya.

Baca juga: Prospek Kripto dan Strategi Baru Dulang Cuan

Mike Winkelmann (Beeple) berhasil menjual karya digital bertajuk Everyday: The First 5000 Days seharga Rp985 miliar. (Dok: laman profil beeple-crap.com)

Kini aset NFT tak hanya dilihat sebagai karya unik, tetapi sebagai instrumen berinvestasi. Orang bisa beli NFT lalu di-hold sampai waktu tertentu dengan asumsi nilainya akan naik.

“Jika bagus dan kita yakin ya bagus-bagus aja dan kadang explosive value dari art itu di beberapa lukisan yang pelukisnya sudah meninggal. Tapi akan jadi masalah kalau sudah mulai spekulatif,” ujarnya

Di sisi lain, Ibrahim pun mewanti-wanti potensi kerugian berinvestasi pada aset yang nilainya tak terprediksi.

“Risk asosiatif-nya itu siapa yang nanggung? Kalau perbankan biasa ada LPS, ada OJK. Aset Kripto kan ga ada. One you lose, you lose your money,” katanya

Baca juga: Resiliensi DuitHape Jangkau Masyarakat Unbanked

Ibrahim Kholilul Rohman sebut tak standar harga karya NFT karena seni bergantung pada persepsi. (Dok: pribadi)

Banyak yang khawatir NFT ini hanya fenomena bubble atau gelembung.

“Bubble-nya itu udah tipikal naluriah dasar teknologi. Kripto itu tidak pernah tidak fluktuatif. Ya jangan kemudian put a lot of effort, energy, and investment untuk sesuatu yang uncertain,” ucap Ekonom Senior di Indonesia Financial Group ini.

Simak obrolan seru soal aset NFT dan potensinya di Indonesia bersama Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Ibrahim Kholilul Rohman dalam episode Uang Bicara “Booming NFT, Inovasi atau Spekulasi? di KBRPrime, Spotify, Apple Podcast dan platform mendengarkan podcast lainnya.