BERITA

Jerat Karet UU Informasi dan Transaksi Elektronik

"“Tujuan utama dari Undang-Undang ini adalah melindungi warga dari penipuan transaksi elektronik, penipuan online, pembobolan kartu kredit, melindungi anak-anak dari predator di media sosial.""

Jerat Karet UU Informasi dan Transaksi Elektronik
Ilustrasi: Baiq Nuril guru honorer, tersangka UU ITE di PN Mataram, Rabu (10/05/17). (Antara/Ahmad Subaidi)

KBR, Jakarta- Pemerintah dan DPR didesak untuk segera merevisi pasal karet di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hal ini lantaran UU ITE yang kerap dijadikan senjata untuk membungkam kebebasan berekspresi masyarakat. 

September 2019 lalu, aktivis sekaligus jurnalis Dandhy Dwi Laksono ditangkap lantaran cuitannya mengenai kondisi kerusuhan di Papua yang terjadi akibat tindakan rasialisme. Dandhy dijerat Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia dituduh melakukan ujaran kebencian.

Dandhy menilai, penangkapan atas dirinya menjadi bukti kalau penerapan UU ITE telah bergeser jauh dari cita-cita awal dibuatnya Undang undang tersebut. UU ITE kini kerap dijadikan sebagai alat membungkam kritik rakyat kepada pemerintah. 

Pemerintah, kata dia, harus segera merevisi, menghapus pasal-pasal yang bisa merugikan rakyat.

“Tujuan utama dari Undang-Undang ini adalah melindungi warga dari penipuan transaksi elektronik, penipuan online, pembobolan kartu kredit, melindungi anak-anak dari predator di media sosial. Dahulu itu ide  sebenarnya, tapi yang terjadi malah digunakan sebagai alat politik dan pengguna terbesar terbesar Undang-Undang ITE adalah aparat negara dan pejabat publik. Hal ini digunakan aparatur negara untuk mengkriminalisasi warga yang melakukan protes terhadap pemerintah.” Ujar Dhandhy saat diwawancarai KBR, Selasa (16/02).

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network ( Safenet), Ika Ningtyas setuju. Dia lantas menunjuk sejumlah pasal karet dalam UU ITE yang berpotensi menjerat siapapun. Keberadaan pasal-pasal ini yang menyebabkan angka kriminalisasi dengan menggunakan UU ITE masih tinggi.

"Safenet  menilai selama ini beberapa pasal yang bermasalah atau yang menjadi pasal karet antara lain di pasal 27 Ayat 1, kemudian di Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik, kemudian Pasal 28 Ayat 2 tentang ujaran kebencian, kemudian Pasal 28 ayat 1 tentang kabar bohong konsumen," kata Ika kepada KBR, (16/2/21).

Kata Ika, keberadaan pasal-pasal itu akan memperburuk iklim demokasi tanah air. Sebab masyarakat semakin takut berekspresi. Padahal, aspirasi dan kritik dari masyarakat penting disampaikan kepada pemerintah sebagai evaluasi atas kebijakan.

Baca juga:


Aduan itu juga diterima Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisioner Komnas HAM Amiruddin Ar-Rahab mengatakan, aduan datang dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi hingga sejumlah tokoh.

Amiruddin mengidentifikasi hal ini sebagai permasalahan dalam hak asasi manusia.

"Nah itu muncul ke permukaan, menguat. Jadi artinya, kebebasan menyatakan pendapat itu dijamin oleh konstitusi. Jika terjadi penyempitan atau adanya rasa terjadinya penyempitan terhadap ruang menyatakan pendapat, berarti ini menjadi problem hak asasi manusia yang pantas kita pikirkan bersama untuk mencari jalan keluarnya," kata Amiruddin

Desakan masyarakat sipil agar UU ITE segera direvisi boleh jadi bakal segera terealisasi sebab wacana ini pun akhirnya dilontarkan Presiden Joko Widodo. Jokowi menyoroti banyaknya masyarakat yang saling lapor menggunakan pasal UU ITE. Dia meminta Polri lebih selektif saat menerima dan memproses laporan. Pasal yang bisa menimbulkan multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati

“Kapolri juga harus meningkatkan pengawasan agar implementasinya konsisten, akuntabel dan berkeadilan. Kalau UU ITE tidak bisa memberikan keadilan, saya akan minta pada DPR untuk merevisi UU ITE karena di sinilah hulunya. Terutama menghapus pasal karet yang penafsirannya berbeda-beda,” katanya.

Menanggapi wacana itu, anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman mengaku setuju. UU ITE, kata dia perlu direvisi sebab keberadaan pasal karet dinilai telah membuka ruang bagi aparat penegak hukum membuat penafsiran dan mengambil kebijakan sendiri.

"Semata-mata menciptakan stabilitas politik dengan membatasi, melakukan penangkapan, bahkan melakukan bully terhadap mereka yang selama ini ingin menyampaikan masukan, ingin memberikan pandangan, gagasan alternatif terhadap kebijakan pemerintah. Jadi kalau ada niat itu, sangat bagus ya jika itu dilakukan. Apakah itu mungkin, sangat mungkin. Sebab pada saat ini Presiden kan didukung sampai tujuh  partai politik di parlemen jadi kalau ada niat baik semacam itu saya mendukung dan tentu kita dan publik menunggu itu menjadi kenyataan." Kata dia


Editor: Rony Sitanggang

  • Kebebasan Sipil
  • Resesi Demokrasi
  • KSP
  • Jokowi-Maruf Amin
  • Jokowi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!