BERITA

PSHK: RUU Omnibus Cipta Kerja Justru Lahirkan Lebih Banyak Aturan Turun

""Jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja ini, terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah.""

Adi Ahdiat

PSHK: RUU Omnibus Cipta Kerja Justru Lahirkan Lebih Banyak Aturan Turun
Saat ini Indonesia punya 8.470 Peraturan Pusat dan 14.758 Peraturan Menteri. (www.peraturan.go.id)

KBR, Jakarta- Belakangan, pemerintah getol menyebar narasi bahwa Indonesia punya terlalu banyak aturan.

Pemerintah pun berulang kali menyatakan bahwa aturan-aturan yang ruwet itu perlu dipangkas lewat omnibus law.

Namun, narasi itu kini diragukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

Menurut analisis PSHK terhadap dokumen RUU Cipta Kerja, omnibus law itu justru menuntut adanya penambahan ratusan aturan baru.

"Banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja ini, terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah, menunjukkan tidak sensitifnya pembuat undang-undang akan kondisi regulasi kita," jelas Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi dalam rilisnya, Jumat (14/2/2020).

"Jumlah peraturan pelaksana itu seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia mengalami hiper-regulasi," ujar Fajri.

"RUU Cipta Kerja kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan," lanjutnya. 


Pembahasan RUU Cipta Kerja Tertutup

PSHK juga mengkritisi sikap pemerintah dan DPR yang terkesan tertutup, karena sampai sekarang dokumen RUU Cipta Kerja belum dipublikasikan di situs-situs resmi negara.

Padahal, pemerintah dan DPR punya kewajiban menyebarluaskan rancangan produk hukum ke masyarakat.

"Pasal 170 Perpres 87/2014 tentang Peraturan Pelaksana UU 12/2011 mengharuskan pemerintah dan DPR menyebarluaskan RUU sejak tahap penyusunan," jelas Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi.

"Tidak tersedianya kanal resmi untuk mengakses RUU Cipta Kerja menjadikan ruang partisipasi publik tertutup. Padahal, partisipasi masyarakat merupakan hak yang dijamin dalam Pasal 96 ayat (1) UU 12/2011."

"Mengingat RUU Cipta Kerja ini memiliki tingkat kompleksitas tinggi dan rentang substansi amat beragam, seharusnya pemerintah sejak awal mengundang keterlibatan publik, terutama kelompok masyarakat yang akan menjadi pihak terdampak, untuk memberikan masukan," lanjutnya.


RUU Cipta Kerja Menabrak Putusan MK

Selain tidak melibatkan publik, PSHK juga menilai RUU Cipta Kerja memuat pasal-pasal bermasalah.

"Pertama, Pasal 170 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah Undang-undang. Hal itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12/2011 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang sehingga tidak bisa membatalkan maupun mengubah Undang-undang," jelas Fajri.

"Kedua, pasal 166 RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah. Hal itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV yang menyebutkan bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan konstitusi.," lanjut dia.

Berdasar pertimbangan-pertimbangan itu, PSHK menuntut pemerintah dan DPR supaya:

    <li>Segera mempublikasikan RUU Cipta Kerja yang mudah diakses oleh masyarakat;</li>
    
    <li>Memastikan peraturan pelaksana RUU Cipta Kerja tidak memperparah kerumitan regulasi;</li>
    
    <li>Menghapus semua ketentuan yang bertentangan dengan asas/prinsip peraturan perundang-undangan maupun Putusan MK.</li></ul>
    

    PSHK pun meminta DPR supaya menyuarakan kepentingan publik yang kritis terhadap RUU Cipta Kerja.

    "Pengimbangan peran DPR terhadap Presiden menjadi kunci untuk mencegah adanya sentralisasi kekuasaan di tangan Presiden yang jika dibiarkan berlarut-larut akan menciptakan otoritarianisme," kata Fajri.

    Editor: Agus Luqman

  • Omnibus Law
  • RUU Cipta Kerja

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!