KBR, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) perlu direvisi.
ICW beralasan tren penindakan kasus korupsi pada tahun 2019 (sebanyak 271 kasus) menurun jika dibandingkan dengan tahun 2018 (454 kasus).
Peneliti ICW Tama Satrya Langkun pun menilai perlu ada perbaikan terhadap pasal-pasal yang mendukung kinerja penegak hukum dalam menghadapi korupsi.
"Dari tahun ke tahun itu kita melihat, misalnya ada delik terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan dan perbuatan curang, (delik) itu jarang dipakai. Tahun 2019 itu kita nggak nemu, (delik) itu nggak dipakai. Artinya kan sebagai sebuah delik, rumusan delik, memang nggak dipergunakan. Jangan-jangan nggak diperlukan gitu lho, karena jarang dipakai," ujar Tama di kantor ICW, Jakarta, Selasa (18/2/2020).
"Padahal kalau bicara soal korupsi pengadaan kan banyak. Kemudian kayak misalnya panitia lelang yang kena kasus korupsi juga kan banyak. Yang konflik interest juga banyak kalau bicara urusan ke pengadilan. Tapi kenapa (delik tadi) nggak dipakai?," katanya.
Tama juga menilai UU Tipikor belum mengatur penegakan hukum untuk berbagai jenis korupsi yang terjadi di Indonesia, semisal korupsi politik yang bisa juga disebut trading influence atau perdagangan pengaruh.
"Perdagangan pengaruh ini kan sekarang belum ada deliknya. Tapi korupsi-korupsi yang berhubungan dengan pengaruh kan banyak, berhubungan dengan para politisi yang memperdagangkan pengaruhnya kan juga banyak," tuturnya.
Kata dia, hampir sebagian besar perkara yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah korupsi politik.
Perkara korupsi politik sering disandingkan dengan tindakan suap atau gratifikasi. Padahal, perdagangan pengaruh memiliki dimensi yang berbeda dengan itu.
Editor: Agus Luqman