BERITA

Pemerintah Didesak Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai

Pemerintah Didesak Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai

KBR, Jakarta- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Kejaksaan Agung mengusut tuntas kasus kekerasan di Kabupaten Paniai, Papua Barat yang terjadi Desember 2014 silam. 

Ini menyusul ditetapkannya tragedi Paniai sebagai kasus pelanggaran HAM berat dalam sidang paripurna khusus, 3 Februari 2020 silam. 

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, mengatakan kasus Paniai perlu diselesaikan melalui penegakan hukum dan bukan lewat pernyataan diluar hukum.

"Kalau tiba-tiba misalkan ada seorang pejabat ngomong ini (kasus Paniai) bukan pelanggaran HAM berat, itu punya dua dimensi, dimensi pertama adalah menjadikan penegak hukum diluar komnas HAM dibawah tekanan, dan itu buruk dalam konteks negara hukum, siapapun ya. Kedua itu akan menambah respon yang negatif, mencurigai, oh ini ada intervensi dan sebagainya. Menurut kami, karena ini penegakan hukum selesaikanlah dengan penegakan hukum (oleh Kejagung), tidak boleh dengan statement yang lain," ucap Choirul Aman saat Konferensi Pers di Komnas HAM, Senin (17/2/2020).

Choirul Anam mengatakan Kejaksaan Agung dalam hal ini, dituntut bisa bekerja cepat dan lugas. Ia juga meminta pemerintah memahami perbedaan urusan hukum dan politik Hak Asasi Manusia. Kasus ini, kata Anam, berpotensi terjadi impunitas bila terus dicampuradukkan dengan urusan politik. 

"Kalau pernyataan bahwa siapapun yang menyatakan ya bahwa kasus Paniai bukan pelanggaran HAM berat, sepanjang itu bukan oleh Jaksa Agung sebagai penyidik dan bukan dengan SP3, maka semua statement itu adalah statement politik yang harusnya tidak boleh. Ini kan law enforcement. Jadi ini kerangkanya adalah kerangka law enforcement, jadi dia kalau law enforcement ya harus dengan law enforcement juga," ujar Choirul Anam.

Keputusan paripurna khusus Komnas HAM yang menetapkan tragedi Paniai sebagai kasus pelanggaran HAM berat berdasarkan hasil penyelidikan oleh TIM Ad hoc yang bekerja berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim bekerja selama lima tahun mulai 2015 hingga 2020.  Komnas HAM memastikan, kejadian itu sistematis dan terstruktur, lantaran sudah terpenuhi unsur-unsurnya. 

"Apakah sarat sistematis atau meluas tepenuhi? ya kalau tidak terpenuhi, kami juga tidak akan menyimpulkan itu. kalau ditanya apa buktinya? ya buktinya karena sifatnya kerahasiaan, kita tidak bisa mengutarakan lebih jauh. Tapi kami mengutarakan metodenya. Metode bekerja kami adalah meminta semua keterangan, aktor-aktor yang penting, dari aktor paling atas sampai aktor paling atas, mulai dari orang di lapangan sampai orang pengambil kebijakan," ungkap Anam.

Baca juga: Konflik Nduga Tak Kunjung Usai, Peneliti LIPI Duga Ada Kepentingan Bisnis 

Peristiwa Paniai terjadi pada tanggal 7-8 Desember 2014. Saat itu terjadi kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Sedangkan dua puluh satu orang lain mengalami luka penganiayaan.

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut kejadian itu bukan termasuk pelanggaran HAM berat, lantaran tidak terstruktur dan sistematis. Kala peristiwa itu terjadi, Moeldoko masih menjabat sebagai Panglima TNI. 

Hal yang sama disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD. Ia mengatakan, sejak Presiden Jokowi menjabat tak ada kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Padahal, tragedi Paniai terjadi dua bulan setelah Joko Widodo dilantik menjadi Presiden. 

Penetapan kasus Paniai sebagai kasus pelanggaran HAM berat telah menambah jumlah kasus sama di Papua yang sudah ditetapkan Komnas HAM sebelumnya. Dua kasus yang juga belum tuntas adalah pelanggaran HAM berat Wasior dan Wamena. 

 


Editor: Friska Kalia

  • Paniai Berdarah
  • Pelanggaran HAM
  • Papua
  • Papua Barat
  • Komnas HAM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!