BERITA

Bincang Eksklusif Mahfud MD: Konstitusi Bisa Dilanggar Demi Keselamatan Rakyat

Bincang Eksklusif Mahfud MD: Konstitusi Bisa Dilanggar Demi Keselamatan Rakyat

KBR, Jakarta- Redaksi KBR mengadakan wawancara eksklusif dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Jakarta, Kamis (13/2/2020).

Berikut adalah perbincangan jurnalis KBR Don Brady dengan Mahfud MD, mulai dari soal generasi muda, kebebasan berekspresi, sampai pemblokiran internet dalam kasus rasisme Papua.

Sepuluh tahun pascareformasi, bagaimana peran generasi muda dalam kehidupan demokrasi Indonesia?

Kalau peran generasi muda dalam arti keterlibatan fisik, kita lihat banyak sekali sekarang lembaga-lembaga demokrasi.

Kalau lembaga demokrasi itu difokuskan saja ke partai politik dan DPR, itu sudah banyak generasi muda. Di kantor kepresidenan, anak muda semua staf khususnya, yang 11 orang sengaja diambil dari anak milenial.

Di bidang pemikiran, karena demokrasi sering terkait dengan opini publik, kita lihat anak-anak milenial ini merajai dunia medsos dalam pembentukan opini. Saya kira tidak apa-apa. Kita senang dengan keterlibatan mereka dan kita terus akan mendorong. Karena bagaimanapun demokrasi itu nanti akan diisi oleh setiap tokoh yang muncul secara terwariskan.

Kita tidak membuat hambatan apapun kepada generasi muda, dan generasi muda juga sekarang aktif di dalam proses-proses demokrasi, meskipun tidak harus selalu di partai politik.


Sekarang kerap muncul kelompok-kelompok sipil yang menekan minoritas, seperti misalnya dalam kasus penutupan rumah ibadah. Kenapa ini terjadi?

Itu segi negatif dari demokrasi. Jadi ketika demokrasi bertumbuh, memang kelompok penekan muncul juga, mengatasnamakan ikatan primordial (dan lain-lain).

Tapi yang membela kelompok yang ditekan itu banyak. Seperti kita, Anda, kan menjadi pembela mereka juga.

Oleh sebab itu, setiap tekanan (terhadap minoritas) tidak efektif betul. Karena demokrasi pembelaan bisa dilakukan oleh orang lain, sehingga kelompok minoritas tidak pernah sendiri. Dia (kelompok minoritas) pasti bersama kelompok lain. Kalau tidak, sudah habis mereka.

Justru mereka (kelompok minoritas) sekarang mendapat teman yang banyak dari perkembangan demokrasi. Tidak apa-apa, itu keniscayaan saja.


Sekarang banyak juga LSM yang 'galak' atau bersuara lantang. Bagaimana pemerintah memperlakukan mereka?

Sebagai mitra diskusi. Karena semua yang ada di pemerintah sekarang pada umumnya berangkat dari gerakan masyarakat sipil ya.

Saya berangkat dari gerakan masyarakat sipil, yang jadi menteri banyak berangkat dari gerakan masyarakat sipil. Sebab itu, harus siap ketika sekarang duduk di pemerintahan dikritik oleh masyarakat sipil juga. Kita anggap mitra saja. Bukan berarti kita menerima apa adanya, kita ajak berdebat juga.


Jumlah warganet Indonesia sangat besar dan sering membuat trending topic nasional, bahkan dunia. Apakah pemerintah mendengar mereka?

Didengar oleh pemerintah. Tapi pemerintah juga punya saringan. Karena ada juga keributan-keributan yang muncul di medsos hanya karena robot, ada yang menggerakkan.

Presiden misalnya, selalu merujuk 'oh, di medsos begini, di medsos begini'. Cuma, Presiden juga punya alat penyaring yang kuat. Ini yang sampah, ini yang bukan, itu sudah biasa.

Setiap hari banyak berbagai suara di medsos, lalu kita punya sikap sendiri, dan tidak apa-apa juga, nyatanya berjalan aman-aman saja.


Di medsos sering muncul tagar-tagar yang 'nyeleneh', apa itu bisa menimbulkan perpecahan di masyarakat?

Ya bisa juga. Tapi kadangkala yang begitu hilang sendiri. Kalau (isunya) kuat, meskipun tagarnya tidak nyeleneh, itu bisa mengubah situasi.

Itu realitas perkembangan demokrasi dan teknologi IT. Itu saya kira tidak bisa terhindarkan, dan kalau saya sih menikmati.


Saat kasus rasisme Papua muncul beberapa waktu lalu, pemerintah memblokir internet cukup lama, dari 21 Agustus-11 Oktober 2019. Padahal, kalau merujuk pada UU ITE, pemblokiran internet tidak ada di dalamnya. Apa dasar hukumnya?

Negara itu boleh melakukan langkah apapun yang diperlukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan rakyat. Jadi hukum yang tertinggi itu sebenarnya, hukum tertinggi dari konstitusi, yaitu keselamatan rakyat.

Konstitusi lahir untuk menyelamatkan rakyat, dalilnya dari Cicero, 'salus populi suprema lex esto', 'keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.

Kalau demi menyelamatkan rakyat, konstitusi bisa dilanggar, karena keselamatan rakyat harus dinomorsatukan. Sebab itu pemblokiran terhadap situs-situs tertentu itu dibolehkan juga. Itu tidak apa-apa juga.


Menurut sebuah survei, lebih dari 60 persen warganet muda Indonesia tidak yakin kebebasan berekspresi di internet sudah dilindungi dengan baik. Apa tanggapan Bapak?

Ya, nggak apa-apa, itu kan persepsi saja. Tapi apakah ada kasus konkret dimana orang berekspresi itu dilarang? Kan tidak.

Mungin mereka mengatakan 'tidak dilindungi' itu artinya 'tidak dilindungi dari keterlalubebasan (internet)', sehingga mereka diserang berbagai hoaks.

Tapi itu kan (hoaks) sulit dihindari. Kalau 'tidak terlindungi' dalam arti 'dilarang' kan tidak ada.

Lama-lama masyarakat akan dewasa sendiri juga, tahu mana yang baik mana yang tidak, pada akhirnya akan terdidik di situ.


Editor: Rony Sitanggang

  • pemblokiran internet
  • rasisme
  • Papua
  • intoleransi
  • milenial
  • kebebasan berekspresi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!