BERITA

Tata Niaga Sawit Indonesia Dikuasai Malaysia?

"Yayasan Auriga Nusantara mencatat 50 persen lebih kendali tata niaga sawit di Indonesia, diduga dikuasai Malaysia. Sedangkan dari sisi penguasaan lahan, Malaysia menguasai 15% atau 1,3 juta hektare."

Tata Niaga Sawit Indonesia Dikuasai Malaysia?
Perkebunan kelapa sawit di Riau. (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Lebih dari 50 persen kendali tata niaga sawit di Indonesia, diduga dikuasai Malaysia. Data itu direkam Yayasan Auriga Nusantara , sebuah LSM di bidang konservasi sumber daya alam di Indonesia.

Sedangkan dari sisi penguasaan lahan sawit, Malaysia menguasai 15 persen, atau 1,3 juta hektar lahan di seantero Nusantara.

Peneliti sawit dari Yayasan Auriga Nusantara, Wiko Saputra mengatakan dampak dari penguasaan atas separuh tata niaga sawit itu, jelas merugikan Indonesia, terutama dalam hal penerimaan pajak.

"Kalau dia menguasai di tata niaga, artinya penetapan harga sawit itu mereka yang kontrol. Selain itu akan ada semacam kartel harga di tingkat mereka, karena mereka-mereka juga yang menguasai perdagangannya," kata Wiko pada KBR, Rabu (20/2/2019).

"Artinya, ketika dia menguasai di sektor tata niaga, dia bisa bikin yang namanya semacam shadow-trading, transfer-pricing dan lain-lain. Itu bisa merugikan negara dalam hal penerimaan pajak," tambah Wiko.

Peneliti sawit dari Yayasan Auriga Nusantara, Wiko Saputra menambahkan, potensi konflik agraria terkait lahan sawit di wilayah konsesi perusahaan asing, ternyata juga lebih tinggi, bila dibandingkan pada lahan yang dikuasai  perusahaan domestik.

Hal itu dikarenakan, kendali manajemen perusahaan asing yang mengelola sawit di Indonesia, berada di luar negeri. Sehingga, mereka tidak memahami kondisi sosial masyarakat Indonesia.


Dibantah pengusaha sawit

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Togar Sitanggang membantah hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Auriga Nusantara.

Menurut Togar, banyak perusahaan sawit asing di Indonesia, yang meskipun berkantor pusat di luar negeri, tapi kepemilikannya justru merupakan orang Indonesia.

"Ya perusahaan asing, karena dia menghitungnya berbasiskan Penanaman Modal Asing (PMA). Sebenarnya perusahaan-perusahaan ini mem-PMA kan diri juga," kata Togar ketika dihubungi KBR, Rabu (20/2/2019).

Menurut Togar, perusahaan-perusahaan itu aslinya merupakan perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), tapi mengubah diri menjadi PMA.

"Contoh yang paling besar aja Sinar Mas. Sinar Mas itu karena dipunyai oleh Golden Agri-Resources, perusahaan Singapura. Itu dianggap PMA. Tapi kan Sinar Mas itu kita tahu siapa yang punya. Jadi kalau secara administrasi, iya kelihatannya dikuasai asing, tapi sebenarnya tidak," kata Tigor.

Sekjen GAPKI, Togar Sitanggang menyarankan, Auriga Nusantara sebaiknya menyelidiki lebih dulu, status kepemilikan perusahaan-perusahaan sawit yang konon dimiliki oleh asing itu.

"Jangan sekadar membaca status perusahaan itu, sebagai PMA atau PMDN saja. Teliti juga, siapa sosok taipan empunya perusahaan itu," kata Tigor.

Kerugian bagi petani sawit?


Penguasaan tata niaga sawit di Indonesia olah Malaysia hingga 50 persen lebih diperkirakan dapat mempengaruhi harga sawit di tingkat petani.

Direktur LSM Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan harga sawit yang bisa terpengaruh itu mulai dari yang berupa tandan buah segar (TBS) hingga minyak kelapa sawit mentah (CPO).

Surambo mengatakan, ada fluktuasi harga TBS di kalangan petani, seperti yang terjadi pada akhir 2018 lalu. Ketika itu, harga TBS begitu anjlok, dan merugikan petani. Surambo mengingatkan, faktor konglomerasi sangat memungkinkan untuk jadi alasan pengaturan harga sawit.

"Dugaannya, kalau asing banyak masuk, akan permainan harga tandan buah segar harga CPO di dunia. Walaupun Indonesia katanya terluas dan produksinya paling besar, tapi harga masih ditentukan oleh, katakanlah di Malaysia. Pengaruh harga dari Malaysia itu sangat kuat di harga CPO dunia. Ada apa ini? Bisa jadi memang diindikasikan bahwa operasinya beberapa perusahaan yang investornya dari Malaysia itu ikut berpengaruh," kata Surambo saat dihubungi KBR, Rabu (20/2/2019).

Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo mendesak perlu dilakukannya penelitian secara detail, tentang konglomerasi sawit dan dampaknya bagi harga sawit, juga nasib petani lokal.

Konflik agraria

Konglomerasi dan kepemilikan separuh tata niaga sawit oleh asing, kata Surambo, bukan cuma berpengaruh pada harga sawit, tapi juga bisa memicu konflik agraria. Pemerintah, kata Surambo, harus melakukan pengawasan terhadap seluruh perusahaan di perkebunan, tanpa pandang bulu.

Ini juga yang dicatat LSM lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Tengah. Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah, Dimas Hartono menyebutkan, konflik agraria di enam kabupaten se-Kalimantan Tengah, sejak 2005 hingga 2017, berjumlah hampir 350 kasus.

Sedangkan sepanjang 2018, terjadi 18 kasus. Dimas menyebut, 70 persen kepemilikan lahan sawit di Kalimantan Tengah, memang sudah dikuasai pengelolaannya oleh asing.

"Kalau dibilang di angka berapa persen, sekitar 70-an total kepemilikan lahan yang ada di Kalteng itu sudah miliki asing. Memang status badan hukumnya grup perusahaan yang ada di luar semua," kata Dimas kepada KBR, Rabu (20/02/2019).

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, Dimas Hartono menambahkan, konflik agraria terkait lahan kelapa sawit, umumnya karena pemberian izin pengelolaan sawit dikeluarkan tanpa melihat kondisi faktual di lapangan.

Nilai sumbangan devisa minyak sawit nasional pada 2018 kemarin, ditaksir mencapai hampir 21 miliar dolar Amerika, atau sekitar Rp294 triliun.

Nilai ini turun 11 persen, dibandingkan pada 2017, yang nyaris menyentuh 23 miliar dolar Amerika, atau sekitar 322 triliun rupiah.

Editor: Agus Luqman 

  • minyak sawit
  • kelapa sawit
  • CPO
  • Auriga Nusantara
  • WALHI
  • pengusaha kelapa sawit
  • petani sawit
  • kebun sawit

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!