RUANG PUBLIK

Peneliti: Debat Capres Kedua Mengecewakan, Minim Bahasan dan Miskin Solusi

Jokowi - Prabowo selfie usai debat capres 2

KBR, Jakarta - Debat calon presiden edisi kedua selesai digelar Minggu (17/02/2019) di Hotel Sultan, Jakarta. Tema yang diangkat seputar energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Selama debat berlangsung, puluhan jurnalis, aktivis dan peneliti berkumpul di kantor Google Indonesia, Jakarta, untuk melakukan pengecekan fakta secara live.

Kegiatan yang diberi tajuk Presidential Debate Live Fact-Checking ini digelar atas inisiatif Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), bekerja sama dengan Google News Initiative.

Tim pengecek faktanya terdiri dari perwakilan media-media nasional, baik yang berkantor di Jakarta maupun yang berpusat di daerah seperti Medan, Riau, Jawa Timur dan Makassar.

Sedangkan tim ahlinya berasal dari sejumlah lembaga riset seperti Yayasan Indonesia Cerah (CERA), Institute for Energy Economics & Financial Analysis (IEEFA), Auriga Nusantara, serta Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).

Berikut adalah intisari pandangan tim ahli Presidential Debate Live Fact-Checking tentang hasil Debat Capres kedua.


Debat Capres Kedua: Minim Bahasan

Dalam segmen penutup Presidential Debate Live Fact-Checking (17/02/2019), para tim ahli menyampaikan pandangan umumnya terkait hasil Debat Capres kedua.

Adhityani Putri, Direktur Eksekutif dari Yayasan Indonesia Cerah, menyampaikan bahwa bahasan para Capres soal energi masih sangat minim.

“Debat kali ini tidak menyentuh mengenai masa depan energi bersih untuk Indonesia. Tidak ada bahasan strategi konkret dari masing-masing Capres untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil,” jelas Adhityani (17/02/2019)

Menurut amatan Adithyani, dalam debat ini para kandidat baru sekedar menyinggung soal penurunan konsumsi minyak saja. Padahal, dalam konteks energi fosil, para Capres seharusnya mengeksplorasi juga soal gas dan batubara.

“Proyek PLTU batubara 35.000 megawatt nggak disebut sama sekali di segmen eksploratif. Padahal proyeknya penuh dengan masalah lahan, dampak sosial, mata pencaharian warga, masalah kesehatan, beban fiskal, dan dampak lingkungan yang nyata,” tegas Adhityani (17/02/2019).

Hal itu diamini oleh Elrika Hamdi, perwakilan IEEFA untuk Indonesia. “Saya kecewa karena masalah-masalah itu (energi fosil dan terbarukan) banyak tidak dibahas,” akunya (17/02/2019).

Sedangkan untuk sektor lingkungan dan sumber daya alam, Iqbal Damaniq dari Auriga Nusantara juga berpandangan serupa.

“Bahasan soal reforma agraria rancu. Harusnya para Capres membahas bagaimana perkuat akses masyarakat ke lahan, tapi konsentrasinya hanya pada legalisasi aset saja. Bahasan kedua Capres soal lingkungan juga masih minim, padahal ke depannya sektor ini yang perlu diperbaiki,” jelas Iqbal (17/02/2019).


Miskin Solusi

Di samping bahasan yang minim, tim ahli juga menilai para Capres tidak punya strategi konkret untuk masalah energi, sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Adhityani Putri menyebut, “Dalam visi-misinya, Jokowi akan meninggalkan energi fosil dengan beralih ke biodiesel sawit. Prabowo juga beralih ke (biodiesel) aren. Padahal biodiesel tidak akan pernah bisa substitusi migas. Tidak ada penguraian lebih lanjut soal itu,” jelasnya (17/02/2019).

Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah itu juga menilai, perbincangan Capres soal industri 4.0 tidak jelas.

“Listrik kita masih di industri 1.0 (energi fosil), lalu mau gerak ke industri 4.0, itu strateginya apa? Nggak dibahas. Seluruh dunia sudah berlari di energi terbarukan, kita masih stuck. Kita ketinggalan kesempatan untuk kompetitif di sektor ini,” papar Adhityani (17/02/2019).

Iqbal Damani dari Auriga juga sependapat. “Soal PLTU batubara 35.000 megawatt, secara perencanaan saja sudah tidak menunjukan ke arah energi terbarukan. Banyak hal substantif tidak dibahas, tidak ada solusi dari kedua calon,” jelas Iqbal (17/02/2019).

Di samping soal energi, Iqbal juga menyampaikan keprihatinan soal bahasan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

“Kedua capres miskin gagasan, miskin solusi terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup. Contohnya kasus di Gunung Kendeng, pemerintah tidak tahu kapan harus eksploitasi dan kapan harus berhenti,” ucap Iqbal (17/02/2019).

Iqbal juga menyebut bahwa Capres nomor urut 01 tidak punya solusi konkret soal penyelesaian konflik agraria.

“Jokowi tidak menyebut bagaimana distribusi lahan harus dilakukan, sibuk mengkritik lahan milik Prabowo,” ujar Iqbal (17/02/2019).


Sulit Berharap

Sebagai penutup, Manajer Advokasi dari FITRA, Ervyn Kaffah, juga menyampaikan pandangan umumnya soal hasil debat.

“Para capres mestinya bicara konkret mengenai kerangka program. Tapi kalau menurut kami, sejauh ini begitu-begitu saja, Kami sulit berharap. Tidak cukup optimis bahwa debat ini akan berhasil untuk kedua calon,” tutup Ervyn (17/02/2019).

 

  • debat capres
  • energi
  • energi terbarukan
  • energi fosil
  • revolusi industri 4.0
  • konflik agraria
  • FITRA
  • Yayasan Indonesia Cerah
  • Auriga Nusantara
  • Jokowi
  • Prabowo Subianto

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!