BERITA

Peraturan Diskriminatif dan Isu Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Peluncuran Indikator Pelaksanaan Program Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainabilitty Goals/ SDGs

KBR, Jakarta – Catatan atas masih banyaknya Peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan, masih adanya pelaksanaan sunat perempuan di berbagai daerah di Indonesia dan maraknya kekerasan seksual, menjadi salah satu titik tolak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam pelaksanaan Sustainability Development Goals (SDGs) di Indonesia. SDGs merupakan program kelanjutan dari program MDGs atau Millenium Development Goals yang diprakarsai oleh United Nations (UN). Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Yohanna Yambise menyatakan bahwa dalam SDGs mendatang, seharusnya catatan tersebut harus menjadi cambuk yang lebih baik.

SDGs merupakan salah satu program United Nations (UN) dalam pembangunan berkelanjutan untuk mengentaskan kemiskinan dan membuat masyarakat adil dan sejahtera. Dalam SDGs misalnya terdapat 17 tujuan dan 169 target yang harus dilaksanakan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan gender agar perempuan dan anak-anak tidak tertinggal. Program ini dilaksanakan oleh Indonesia sebagai salah satu negera anggota UN, yaitu dari awal tahun 2016-2030.

Dalam peluncuran indikator keberhasilan SDGs yang dilakukan oleh Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) bersama Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada Senin (15/02/2016) di Jakarta hari ini, Yohanna Yambise menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan juga terjadi pada sejumlah peraturan perundangan yang merugikan perempuan.

“Masih banyaknya Perda diskriminatif menunjukkan banyak terjadinya diskriminasi terhadap perempuan,” ujar Yohanna.

Jumlah Perda diskriminatif terhadap perempuan saat ini jumlahnya mencapai kurang lebih 350 Perda. Disana terdapat pengaturan pemakaian busana bagi perempuan, pengaturan jam malam untuk perempuan dan sejumlah diskriminasi yang membatasi gerak perempuan. Banyaknya Perda diskriminatif ini dengan sendirinya juga memberikan catatan soal peraturan yang dibuat oleh pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia yang tidak menguntungkan perempuan.

Euis Kurniasih, aktivis penghayat keyakinan dari Organisasi Sunda Wiwitan menyatakan diskriminasi lain juga terjadi pada penghayat keyakinan Sunda Wiwitan. Saat ini sudah ada sistem baru di sekolah bahwa anak-anak penghayat keyakinan/ agama yang berbeda bisa menuliskan keyakinan mereka. Namun ternyata, hal ini hanya terjadi di atas kertas.

“Dalam laporan-laporan di sekolah, anak-anak dengan keyakinan yang berbeda tetap belum diakui keyakinannya,” ungkap Euis Kurniasih.

Euis mengusulkan agar catatan diskriminasi terhadap keyakinan dan agama yang berbeda ini juga menjadi catatan bagi pelaksanaan SDGs di Indonesia.

Sedangkan catatan diskriminasi lain, terjadi pada Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Mereka umumnya hanya diakui sebagai warga negara Indonesia ketika Pemilihan Umum (Pemilu) tiba, yaitu mereka diwajibkan untuk memilih salah satu calon. Namun ketika Pemilu usai, hak-hak mereka kembali dilanggar, seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan, sulitnya mengurus jaminan kesehatan dan memperjuangkan hidup mereka.


Indikator Keberhasilan

Atas Hendartini dari GPPI kemudian mengusulkan sejumlah indikator agar pelaksanaan SDGs di tahun 2016-2030 berhasil dan bisa dimonitor oleh masyarakat. Sejumlah indikator yang diluncurkan GPPI misalnya: adanya peraturan bagi anak untuk tidak dinikahkan di bawah usia 18 tahun.

“ Indikator kesehatan lain misalnya meliputi menurunnya angka kematian ibu dan bayi yaitu dengan kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan terlatih, ibu diberikan makanan dan fasilitas kesehatan yang cukup,” ujar Atas Hendartini.

Indikator lain yaitu menurunnya angka HIV/AIDS yang banyak diderita oleh ibu-ibu rumah tangga, malaria, TBC, kanker leher rahim, kanker payudara dan penyakit tropis lainnya yang terabaikan. Maka perempuan dan anak seharusnya mempunyai akses terhadap kesehatan dan makanan sehat yang cukup.

Hal lain yang rentan terjadi pada perempuan misalnya kematian perempuan akibat kecelakaan lalu lintas, pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan yang terjadi di jalan. Maka salah satu program yang seharusnya dilakukan pemerintah yaitu menciptakan kota yang ramah terhadap perempuan dan anak

Indikator lain yaitu soal mengurangi angka kemiskinan, adanya akses pendidikan dan pekerjaan yang murah dan mudah perempuan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi angka pengangguran terhadap perempuan di Indonesia.

Komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny menyatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara anggota United Nations (UN) seharusnya mempunyai mekanisme untuk mereview atau melihat kembali capaian atas kemajuan dan kemunduran pelaksanaan program ini sebagaimana negara-negara lain. Maka Komnas Perempuan menghimbau pemerintah untuk melihat kembali capaian atas kemajuan maupun kemunduran pelaksanaan program SDGs ini secara terbuka.

Sebelumnya, pelaksanaan MDGs di Indonesia telah berakhir pada bulan September 2015 lalu.  Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa pelaksanaan MDGs di Indonesia belum berhasil dilaksanakan. Kalla menyatakan bahwa masih terdapat persoalan ketidaksetaraan dan kemiskinan masih menjadi masalah global hingga kini. SDGs merupakan kelanjutan dari pelaksanaan MDGs ini untuk mengurangi angka kemiskinan dan ketidaksetaraan.


  • MDGs
  • SDGs

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!