KBR, Jakarta– Pemerintah tengah mempersiapkan Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) sebagai penyedia informasi kreditur. Tujuannya untuk mempermudah perusahaan jasa keuangan. Deputi Komisioner Pengawas Keuangan Otoritas Jasa Keuangan Mulia Effendi Siregar mengatakan, informasi dari LPIP akan mempercepat proses pengajuan kredit karena seluruh data sudah terangkum dengan baik. Dia berujar, pelibatan LPIP itu untuk meningkatan rangking kemudahan berusaha.
“LPIP itu punya akses mengambil sistem informasi debitur untuk di-enhance, jadi sebuah informasi, sebuah scoring credit yang dimanfaatkan oleh lembaga keuangan. Selain itu, dalam rangka ease of doing business, LPIP harus meng-enhance data-data SID, melengkapi dengan melengkapi e-ktp, melengkapi data-data dari perusahaan utilitas. Jadi kalau orang mau mengambil kredit akan kelihatan semuanya,” kata Mulia di kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (23/02/16).
Mulia berujar, LPIP dapat mengakses data itu dari Sistem Informasi Debitur (SID) yang dimiliki Bank Indonesia sehingga cukup mengolah dan melengkapinya sehingga mempermudah lembaga keuangan. Kata dia, LPIP harus bisa menyediakan informasi yang lengkap tentang calon kreditur, termasuk rekam jejaknya dengan perusahaan utilitas seperti PT. PLN dan PT PAM. Melalui data dari perusahaan utilitas itu, akan diperoleh informasi mengenai ketaatan calon kreditur membayar tagihan. Oleh karena itu, Mulia mengatakan, LPIP harus menggandeng seluruh perusahaan utilitas agar datanya dapat terintegrasi.
Mulia mengatakan, baik LPIP maupun lembaga keuangan sama-sama akan mendapat keuntungan. Bagi lembaga keuangan, LPIP adalah penyedia informasi yang lengkap tentang calon krediturnya, sehingga tidak perlu disurvei ulang. Sementara itu, LPIP akan diuntungkan karena informasi yang diolah dapat dijual kepada lembaga keuangan. Saat ini, OJK telah memberikan dua izin kepada dua LPIP, yaitu PT. Kredit Biro Indonesia Jaya dan dan PT PEFINDO Biro Kredit pada 22 Desember 2015.
Pemerintah tengah berupaya memperbaiki ranking ease of doing business Indonesia dari peringkat 109 menjadi 40 dari 189 negara. Pemeringkatan itu diperoleh berdasarkan survei Bank Dunia setiap tahun yang diperbarui setiap tahun dengan menyurvei Jakarta dan Surabaya dengan komposisi penilaian 70:30.
Survei itu akan digelar pada Maret hingga Juni 2016. Bank Dunia memiliki sepuluh indikator untuk menentukan peringkat, meliputi kemudahan memulai usaha, memperoleh kredit, permasalahan izin pembangunan, pencatatan tanah dan bangunan, memperoleh sambungan listrik, pemenuhan kontrak, penyelesaian kepailitan, membayar pajak, perlindungan investor, dan perdagangan lintas negara.