RUANG PUBLIK

5 Kesesatan Logika Ini Bisa Muncul di Debat Capres

"Dalam debat, setiap kubu akan cenderung membenarkan pendapat kelompoknya sendiri dan menyalahkan kelompok lawan. Tendensi semacam itu tentu berpeluang memunculkan kesesatan berlogika."

Adi Ahdiat

5 Kesesatan Logika Ini Bisa Muncul di Debat Capres
Dua paslon capres bersiap mengikuti debat pertama Pilpres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). (Foto: Antara/Sigid Kurniawan).

KBR, Jakarta- Adu gagasan dan program dalam gelanggang debat calon presiden-wakil presiden sebagai tahapan pemilihan presiden telah dimulai pada Kamis, (17/01/2019). Debat tersebut disiarkan di belasan stasiun televisi nasional dan juga radio.

Debat politik ini tentu sangat menarik untuk ditonton. Namun demikian, kita juga perlu hati-hati. Pasalnya sebagaimana manusia biasa, para calon pemimpin itu juga rentan melakukan kesesatan logika yang sering terjadi dalam riuh dan panasnya perdebatan.

Debat Bukanlah Diskusi

Pada dasarnya, kegiatan debat sangat berbeda dengan diskusi. Diskusi adalah bentuk komunikasi yang bertujuan untuk mencari titik tengah, mencari titik pertemuan antara dua pendapat berbeda.

Sedangkan menurut penjelasan Widyamartaya, penulis buku Kreatif Berwicara (1999), debat adalah kegiatan adu kepandaian dan logika yang bertujuan untuk saling meyakinkan lawan bicara.

Terlebih lagi dalam debat capres. Adu kepandaian dan logika itu pastinya dilakukan untuk memenuhi tujuan politis, yakni tujuan-tujuan yang berkaitan erat dengan kepentingan individu atau golongan tertentu. Dengan begitu masing-masing kubu akan cenderung membenarkan pendapat kelompoknya sendiri, serta menyalahkan pendapat kelompok lawan.

Tendensi semacam itu tentu berpeluang memunculkan kesesatan dalam berpikir. Berikut adalah beberapa contoh kesalahan logika yang rawan terjadi dalam panasnya perdebatan.

1. Menyerang Pribadi, Bukan Isi Pembicaraannya

Dalam ilmu logika, dikenal sebuah kesesatan berpikir yang disebut Argumentum ad hominem, yakni menyerang pribadi lawan untuk menyalahkan pendapatnya.

Bentuk Argumentum ad hominem bisa kita lihat dalam contoh dialog berikut:

A: Daerah ini harus lebih banyak membangun rumah sakit.

B: Ah, itu sih kamu saja yang pesakitan. Menurutku kita tak perlu rumah sakit tambahan.

Dalam percakapan tersebut, B melakukan kesesatan logika ad hominem. Si B menyalahkan pendapat A dengan alasan si A adalah orang yang mudah sakit, bukan karena pertimbangan menyeluruh tentang kondisi kesehatan masyarakat dan kuantitas layanan medis di daerah tersebut.

2. Didukung Banyak Orang = Benar

Ada juga kesesatan logika yang disebut Argumentum ad populum. Secara harfiah, istilah ini berarti juga “menanyakan pendapat kepada rakyat”.

Menurut Y. P. Hayon dalam Aspek Logis dalam Pernyataan-pernyataan Politik (Jurnal Wacana, 2005) kesesatan macam ini amat sering ditemukan dalam pernyataan politik.

Contoh Argumentum ad populum adalah sebagai berikut:

A: Semua warga kampung kami yakin si Z itu adalah malingnya. Jadi dia pasti maling.

B: Tapi warga kampung kami mengenal si Z sebagai orang baik. Jadi dia pasti orang baik.

Dalam contoh dialog di atas, baik si A maupun si B melakukan kesesatan dalam menarik kesimpulan. Mereka sama-sama menilai si Z hanya berdasarkan keyakinan orang banyak, bukan karena bukti-bukti yang terang dan jelas.

3. Salah Satu = Salah Semua

Y. P. Hayon dalam Aspek Logis dalam Pernyataan-pernyataan Politik (Jurnal Wacana, 2005) menyatakan bahwa fallacy of composition juga sering terjadi di ranah politik.

Fallacy of composition, atau kesesatan dalam komposisi adalah kesalahan karena menganggap satu hal tertentu bisa mewakili keseluruhan. Contohnya adalah sebagai berikut:

A: Pelaku bom bunuh diri itu muslim. Jadi, ajaran Islam adalah sumber terorisme.

B: Koruptor itu gajinya kecil. Jadi, akar korupsi adalah masalah ekonomi.

Dalam contoh dialog tersebut, A dan B sama-sama melakukan kesalahan dalam berpikir karena menganggap satu kasus tertentu bisa menjadi dasar untuk menghakimi seluruh peristiwa yang terkait.

4. Kiasan = Kenyataan

Kesesatan metaforis, atau fallacy of metaphorization, adalah kesalahan berpikir karena penggunaan kata-kata kiasan. Misalnya:

A: Memimpin negara itu ibarat naik sepeda, harus bisa menjaga keseimbangan dalam berpolitik.

B: Bukan, memimpin negara itu seperti mengasuh anak, harus tahu kapan waktu untuk memanjakan, dan kapan waktu untuk memberi hukuman.

Dalam contoh di atas, A dan B menggunakan kiasan dalam menjelaskan cara memimpin negara. Hal ini tentu menyesatkan karena masalah inti yang dibahas menjadi kabur dan tidak jelas.

Negara jelas-jelas bukan sepeda, dan negara juga jelas bukan seorang anak.

5. Tidak Punya Bukti = Salah

Studi logika juga menyebutkan tentang Argumentum ad ignorantum, yaitu kesesatan berpikir karena ketiadaan bukti atau ketidaktahuan. Misalnya:

A: Saya tidak pernah terbukti korupsi. Artinya saya orang "bersih".

B: Tidak ada anggota partai saya yang terbukti maling. Berarti mereka semua orang jujur.

Pernyataan A dan B di atas juga sesat secara logika. Karena ketiadaan bukti tidak selalu berarti salah.

Ketiadaan bukti bisa juga menunjukan ketidaktahuan atau ketiadaan informasi, entah karena memang belum diketahui atau karena ditutup-tutupi.

(Dari berbagai sumber)

 

  • debat capres
  • Pilpres 2019
  • Jokowi-Maruf Amin
  • Prabowo-Sandiaga
  • KPU

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!