NASIONAL

Sapi dan Dampak Buruk Bagi Lingkungan

"Dukungan multipihak dan multisektor dalam paradigma kolaborasi dan kerja sama, termasuk dari dunia usaha, sangat diperlukan."

Fillyvone Arneta

perubahan iklim
Peternakan sapi Garuda Farm di Cibubulang, Kabupaten Bogor, Jabar, Senin (19/12/22). (KBR/Fillyvone)

KBR, Jakarta - Peternakan sapi disebut menjadi penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dalam sektor agrikultur. 

Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) mencatat sektor agrikultur  menyumbang 14,5 persen emisi global sebesar 7,1 gigaton CO2-eq per tahun. Mayoritas berasal dari ternak sapi yang menyumbang sekitar 4,6 gigaton CO2-eq atau setara dengan 65 persen pada emisi sektor agrikultur.

Setidaknya ada tiga poin utama terkait emisi yang dihasilkan peternakan sapi menurut FAO. Pertama, membutuhkan lebih banyak energi dibandingkan produksi protein nabati dengan jumlah yang sama. Mulai dari perolehan pakan ternak, perawatan sapi, pengolahan limbah, hingga distribusi ke tangan konsumen.

Belai Latenia Djandam, aktivis lingkungan dari The Climate Reality Project Indonesia mengatakan, peternakan sapi membutuhkan  lahan dan energi yang banyak. Belum lagi ditambah emisi  gas metana yang dihasilkan dari kotoran-kotoran sapi.

“Misalnya kita membandingkan emisi yang dihasilkan dari memproduksi 1 kg daging sapi dengan produksi 1 kg beras atau kacang kedelai itu bisa 50 kali lebih besar untuk daging sapi aja. Dan itu jumlah emisi yang bisa mengubah dampak krisis Iklim dari yang tolerable menjadi life threatening,” ujar Belai Latenia Djandam sebagai aktivis lingkungan dari The Climate Reality Project Indonesia. 

Belia  mencontohkan yang terjadi di hutan hujan Amazon. 

“Contohnya di hutan hujan Amazon itu aja hampir 90 persen dari deforestasi yang terjadi itu bisa diatribusikan ke animal agriculture atau peternakan hewan, terutama in relation ke peternakan daging sapi gitu,” lanjut Belai.

Apalagi untuk merawat ternak sapi dan mengelola limbahnya butuh banyak air bersih. 

“Setiap kilogram daging yang diproduksi membutuhkan sekitar 15 ribu liter air,” tegas Belai.

Melihat masalah ini, munculah gerakan global bernama #MeatlessMonday. Gerakan ini mendorong untuk mengurangi konsumsi daging setiap Senin sebagai kontribusi individu dalam menekan  jejak karbon dunia.

Namun, menurut penelitian University of California Davis, jika gerakan #MeatlessMonday dijalankan oleh seluruh masyarakat Amerika Serikat hanya akan mengurangi emisi gas rumah kaca peternakan sapi sebesar 0,5 persen.

red

Pakan tambahan sapi di Garuda Farm, Cibubulang, Kabupaten Bogor, Senin (19/12/22). (Bryan Brahma)

Menurut Belia, yang terpenting adalah perubahan sistem pada peternakan itu sendiri. 

“Karena percuma kalau kita mencoba melakukan perubahan individu kalau pada dasarnya sistem produksi kita tetap mencemari lingkungan,” tegas Belai.

Lanjut Belia, “Jadi tanggung jawab tetap ada di tangan pemerintah dan juga korporasi-korporasi di Indonesia karena mereka juga harus bisa mengubah sistem produksi kita menjadi sistem yang lebih sustainable."

Baca juga:


Salah satu negara yang sudah menindaklanjuti persoalan emisi gas rumah kaca pada sektor pertanian adalah Selandia Baru. Rencananya pemerintah akan memberlakukan pajak atas gas buangan ternak pada 2025. Gas buangan yang dimaksud antara lain sendawa dan kentut sapi yang mengandung metana.

Rencana ini sangatlah penting bagi Selandia Baru. Lantaran berdasarkan publikasi Kementerian Lingkungan Hidup Selandia Baru, peternakan menghasilkan hampir setengah dari emisi gas rumah kaca nasional. Tiga per empat emisi pertanian Selandia Baru berasal dari sistem pencernaan ternak.

Namun, bagaimana dengan Indonesia? 

red

Emisi Peternakan Indonesia 

Indonesia masih tergolong rendah dalam menyumbang emisi gas rumah kaca di subsektor peternakan jika dibandingkan dengan emisi global. 

Berdasarkan laporan Kementerian Pertanian pada 2019, kontribusi gas rumah kaca dari subsektor peternakan masih di bawah 2 persen dari total emisi nasional.

Menurut Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Windi Al Zahra, rendahnya kontribusi peternakan sapi dalam emisi nasional karena Indonesia bukanlah negara pemasok produk sapi utama. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik 2021, Indonesia memiliki 18 juta ekor sapi potong dan 578 ribu sapi perah. 

“Iya, kalau misalnya sekarang kan sapi kita masih impor banyaknya. Jadi otomatis kalau dikalikan dengan jumlah populasi sapi ya otomatis (emisinya) enggak besar kalau dibandingkan dengan subsektor agriculture (negara) yang lain gitu,” ujar Windi.

Untuk produk susu sapi,  Indonesia memiliki jumlah impor tertinggi dibandingkan produk ternak lainnya. Penyebabnya produksi susu dalam negeri baru berkisar 20 persen kebutuhan nasional.

“Kita dari Australia terutama, dari New Zealand (sebagai negara pengimpor terbesar). Susu sih yang kelihatan banget kita produksi nasional tuh cuma 20 persen, sementara 80 persen itu impor gitu. Jadi susu nasional kita tuh masih rendah banget,” jelas Windi.

Baca juga:

Berbeda dengan susu yang sebagian besar impor, daging sapi sebagian besar sudah bisa dipenuhi dari peternakan di dalam negeri.  Ketua Dewan Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Didiek Purwanto mengatakan sebagian produk daging masih didatangkan dari luar negeri.  Menurut data BPS, sebanyak  62 persen kebutuhan daging pada pada 2022 terpenuhi oleh peternakan lokal.  

“Nah, Indonesia harapannya kebutuhan protein itu dipenuhi dari produksi lokal. Tapi karena produksi lokal itu tidak cukup, ya impor. Tapi impor itu kan bukan merupakan suatu tujuan akhir,” ujar Didiek.

Peternakan yang didominasi usaha rakyat ini  diduga menjadi sebab belum adanya regulasi untuk mengatur batasan emisi peternakan. 

“Peternaknya juga masih peternak rakyat ya. Didominasi peternakan rakyat. Sehingga memang agak sulit gitu kalau kita mau memaksa peternak rakyat untuk comply (mematuhi) dengan greenhouse gas emission gitu,” kata Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Windi Al Zahra.

Selain itu, peternakan Indonesia pun tidak berkontribusi langsung dalam masalah deforestasi. Namun, lebih berkaitan dengan pembukaan lahan kelapa sawit. 

“Walaupun memang lahan sawit juga digunakan by product-nya untuk (pakan) peternakan ya,” tambah Windi.

Meski emisinya masih rendah, menurut laporan Direktur Jenderal Perubahan Iklim terdapat peningkatan tahunan emisi gas rumah kaca di subsektor peternakan sebesar 2,33 persen selama 2000 hingga 2019. Penyebab utama meningkatnya emisi tahunan peternakan ini karena pertumbuhan populasi hewan ternak, terutama sapi. 

Tercatat pada 2019 ternak sapi menghasilkan 31,321 Gg CO2, sedangkan pada 2000 emisi yang dihasilkan adalah 20,736 Gg CO2. Laporan Kementerian Pertanian pun menyatakan angka ini akan terus meningkat sejalan dengan upaya penambahan populasi ternak untuk pemenuhan protein ternak sebagai salah satu program pemerintah.

Pakan dan Emisi Ternak Sapi

Siklus hidup sapi memiliki dampak terhadap lingkungan. Baik yang berada di peternakan (on farm) atau di luar peternakan (off farm).  

Di luar peternakan  pengolahan pakan ternak sapi bisa jadi penyumbang emisi. Demi menghasilkan sapi dengan bobot besar, sapi tidak bisa hanya diberi pakan hijauan saja, seperti rumput, jerami, jagung, dan sebagainya. Dengan begitu, perlu adanya tambahan konsentrat dengan tinggi nutrisi.

“Nah untuk memproduksi konsentrat di hulu gitu kan, dia itu kan butuh lahan, butuh pupuk, butuh energi gitu kan. Itu sudah ada emisinya untuk masuk ke dalam jagung gitu kan, jagungnya digunakan untuk ternak,” tutur Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Windi Al Zahra. 

Selanjutnya, pakan tersebut didistribusikan ke seluruh peternakan yang masuk ke tahapan on farm. Terdapat tiga limbah yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, antara lain fermentasi enterik, limbah padat, dan cair.

“Emisi di on farm itu ada apa aja? Ada pakan tadi ya, dimakan sama siapa? Sama sapi gitu kan. Di dalam sapi ini ada proses enterik, ini ada CH4 (gas metana) di sini. Nah ada enterik. Sapi kan punya kotoran juga kan? Kotoran, dia mengeluarkan kotoran, ada juga CH4,” jelas Windi.

Berdasarkan laporan FAO, fermentasi enterik merupakan proses yang paling banyak menghasilkan emisi metana. Dalam peternakan sapi potong proses ini bisa menghasilkan sebesar 46,5 persren dari seluruh total emisi, sedangkan peternakan sapi perah sebesar 42,6 persen. Fermentasi enterik merupakan proses fermentasi pakan di dalam keempat bilik perut sapi, yaitu omasum, abomasum, rumen, dan retikulum. 

red

Rumput pakan utama bagi sapi di Garuda Farm, Cibubulang, Kabupaten Bogor, Senin (19/12/22). (Bryan Brahma) 

Proses yang menghasilkan emisi di pencernaan  ini berkaitan dengan pakan yang dikonsumsi oleh sapi ternak.

“Nah, kalau pakannya di sini kita support dengan digestibility, artinya dia kecernaannya bagus otomatis CH4 (gas metana) nya bisa turun gitu. Jadi kalau misalnya digestibility-nya bagus gitu kan. Nah CH4 bisa turun,” ungkap Windi.

Selain itu, peternakan yang ideal seharusnya bisa mengubah limbah kotoran sapi menjadi pupuk untuk rumput yang akan dimakan oleh sapi.

“Jadi dia muter gini nih sirkular. Ini yang disebut sebagai upaya mitigasi supaya dia (limbah kotoran sapi) akhirnya di sini-sini aja gitu kan, gak ke mana-mana gitu,” jelas Windi.

Ada Solusi, Ada Juga Tantangan

Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait strategi implementasi Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia tengah menetapkan target pengurangan emisi sebesar 29 persen hingga 41 persen pada  2030. 

Sektor pertanian menjadi salah satunya dengan memanfaatkan limbah ternak untuk biogas dan menggunakan suplemen untuk pakan.

“Kita lagi berusaha ya sebetulnya. Masih banyak option-option yang memang dilakukan. Tapi kadang-kadang option itu viable nggak di Indonesia, visible nggak untuk dilakukan di sini,” tegas Windi.

Saat ini Institut Pertanian Bogor sedang menjalankan program instalasi biogas pada peternakan dari Kementerian Pertanian, salah satunya di Malang. 

Menurut Windi, program ini memiliki dua keuntungan, yaitu mengurangi emisi metana yang lepas ke bumi dan mendukung penyediaan energi terbarukan. Sayangnya, keterbatasan lahan dan modal masih menjadi tantangan untuk menjalankan program ini secara merata.

“Sehingga biogas-biogas ini kebanyakan didirikan dengan adanya bantuan dari pemerintah, bantuan dari CSR swasta gitu,” ujar Windi.

Selain itu, IPB juga sudah menemukan peningkatan kualitas digestibility pakan ternak berupa wafer block yang dapat menekan emisi dari hasil fermentasi enterik. 

Namun, modal bagi peternakan skala kecil masih menjadi masalah utama. Windi mengungkapkan kalau pakan menghabiskan sekitar 70-80 persen total biaya produksi. 

“Nah, kebanyakan di kita peternakan itu kan pakan kualitasnya kan kurang bagus. Jerami dikasih, rumput-rumput tua dikasih. Kalau di luar negeri kan engga. Jadi rumput segar yang nutrisinya tinggi, digestibility-nya tinggi gitu,” ujar Windi.

Simak videonya:

Editor: Rony Sitanggang

  • emisi gas rumah kaca
  • polusi udara
  • wakil presiden maruf amin
  • emisi
  • gas rumah kaca

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!