NASIONAL

Penyelesaian Konflik Agraria, Tak Cukup dengan Bagi-bagi Sertifikat Tanah

"Catatan KPA menunjukan adanya peningkatan jumlah korban dan luas wilayah terdampak konflik agraria. Sepanjang 2022 luas wilayah konflik meningkat 100 persen dibandingkan sebelumnya."

Siti Sadida Hafsyah

konflik agraria
Warga antre memasuki Istana Negara Jakarta untuk mengikuti penyerahan sertifikat tanah, Kamis (1/12/2022). (Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan)

KBR, Jakarta - Presiden Joko Widodo mengingatkan masyarakat mengenai pentingnya sertifikat tanah sebagai tanda bukti hak hukum atas tanah yang dimiliki. Jokowi mengatakan ketiadaan sertifikat menyebabkan sengketa tanah dan konflik tanah di mana-mana.

"Sekarang Bapak, Ibu pegang, ada orang datang, 'Ini tanah saya', 'Bukan, ini tanah saya. Ini sertifikatnya,' pergi dia. Karena ada bukti hak hukum atas tanah sudah dipegang oleh Bapak Ibu semuanya. Dan konflik itu ada yang sampai 35 tahun ada yang 15 ada yang 20 menghabiskan energi rakyat kita konflik antar tetangga, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan swasta masyarakat dan BUMN. banyak sekali," Kata Presiden, ketika menyerahkan 1,5 jutaan sertifikat hak atas tanah untuk rakyat secara hibrida, yang terdiri atas program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan redistribusi lahan, di Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, (1/12/2022).

Salah satu konflik agraria yang diklaim berhasil diselesaikan pemerintah adalah konflik lahan suku Anak Dalam di Jambi yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

"Saya juga senang urusan dengan suku Anak Dalam. Ini sudah lebih dari 35 tahun, betul Pak? Benar? Lebih dari 35 tahun enggak rampung-rampung. Memang sulit kalau sudah sengketa hukum itu sulit, menghabiskan tenaga, menghabiskan uang, menghabiskan pikiran, betul-betul sulit. Alhamdulillah sekarang yang suku anak dalam 744 bidang sudah diselesaikan semuanya dan satu keluarga dapat satu hektar udah rampung dulu," kata Presiden.

Salah satu daerah yang memiliki banyak kasus konflik lahan adalah Kabupaten Jember Jawa Timur.

Bupati Kabupaten Jember, Hendy Siswanto berjanji segera menyelesaikan seluruh konflik agraria di wilayahnya. 

Optimisme ini ia sampaikan usai pemerintah menyelesaikan persoalan tanah antara PTPN XII dengan warga Desa Sukamakmur, Kabupaten Jember, dengan membagikan 390 sertifikat redistribusi tanah kepada warga sejak Desember 2022 hingga awal Januari 2023. Konflik lahan itu sudah berlangsung lebih dari 50 tahun.

“Tentunya kita berkolaborasi bersama dengan BPN dan masyarakat sekitar. Tentunya kita ketahui bersama bahwa masyarakat di Jember, khususnya di Sukamakmur semua semakin lama semakin memahami arti dokumen itu penting. Kita segerakan (target sertifikat) cukup banyak. Dan ini hal ini akan bertahan, 2023 semuanya,” kata Hendy dikutip dari Jember TV (6/1/2023).

Baca juga:


Tak cukup sertifikat

Meski upaya pemerintah tadi terdengar positif, namun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengkritik metode pemerintah menyelesaikan konflik agraria di tanah air.

Kepala Departemen Kampanye KPA Benni Wijaya mengatakan penyelesaian konflik agraria tidak bisa selesai hanya dengan pembagian sertifikat.

“Berkaitan dengan program sertifikasi, itu memang tak hanya program administrasi biasa. Karena begini, itu kan hanya memberikan kepastian hak atau kepastian hukum kepada warga yang memang sudah punya tanah misalkan. Memberikan sertifikat. Tapi kan tidak menyasar wilayah-wilayah konflik. Di mana ada lokasi-lokasi yang ada pertentangan klaim dengan warga masyarakat. Masih butuh terobosan untuk bagaimana mempercepat penyelesaian konflik ini. Karena memang masih banyak yang belum bisa diselesaikan,” ucap Benni saat dihubungi KBR (11/1/2023).

Benni Wijaya mengatakan hal yang perlu diperhatikan pemerintah di antaranya soal pendekatan kekerasan yang masih digunakan dalam upaya penyelesaian konflik agraria.

“Periode kedua Jokowi ini, sejak tahun 2020 ya kita hitung-hitung. Penanganan konflik di wilayah itu cenderung memang naik trennya itu. Dalam arti kata, kasus-kasus kriminalisasi ini cenderung meningkat. Misalkan di tahun 2020 itu hanya sekitar 120 kasus kriminalisasi misalkan. Itu naik di tahun 2021 menjadi 150 kasus kriminalisasi. Nah di tahun 2022 itu meningkat drastis malah. Kita mencatat itu ada sekitar 497 angka kriminalisasi yang terjadi di wilayah konflik,” imbuhnya.

Beni mengatakan konflik lahan kerap terjadi pada wilayah yang menjadi target pengembangan investasi. Menurutnya, percepatan investasi membuat negara tampak semakin brutal, karena setiap ada perlawanan dihadapi dengan aparat keamanan.

Ini terlihat dari catatan KPA yang menunjukan adanya peningkatan jumlah korban dan luas wilayah terdampak konflik agraria. Sepanjang 2022 luas wilayah konflik meningkat 100 persen dibandingkan sebelumnya.

“Untuk luasan ya, itu kan ada 1 juta hektar ya konflik yang terjadi di sepanjang tahun 2022. Naik 100 persen. Karena di tahun 2021 itu hanya sekitar 500 ribu hektar. Begitu juga dengan korban terdampak. Dari tahun 2021 ke 2022 itu naik sekitar hampir 50 persen, 43 persen lah,” tuturnya.

Kepala Departemen Kampanye dari Konsorsium Pembaruan Agraria Benni Wijaya berharap pada tahun terakhir sebelum pemerintah disibukan dengan Pemilu ini pemerintah mampu menyelesaikan konflik agraria dengan lebih baik dan progresif.

  • konflik agraria
  • konflik agraria 2022

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!