NASIONAL

Korban Pelanggaran HAM Berat Butuh Keadilan, Tak Sekadar Pengakuan

"Pemulihan hak korban merupakan kewajiban pemerintah."

Muthia Kusuma, Heru Haetami, Astri Yuana Sari, Dwi Reinjani

Korban Pelanggaran HAM Berat Butuh Keadilan, Tak Sekadar Pengakuan
Keterangan pers Presiden Jokowi dan Menko Mahfud MD terkait laporan akhir Tim PPHAM di Istana Merdeka, Rabu (11/01/23). (Setneg)

KBR, Jakarta- Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menilai pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu (PPHAM) tidak didasari hukum dan tak berbasis mekanisme UU Nomor 39/1999 tentang HAM.

Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan mekanisme penyelesaian non-yudisial tidak dikenal dalam konsep HAM.

Bahkan, hal itu justru bisa dianggap bertentangan dengan pemenuhan keadilan bagi korban, karena hanya bernuansa santunan fasilitas berbasis anggaran.

"Dari kemarin ini kan Mahfud MD juga alasannya, Komnas HAM tidak menyatakan, kalau kami yang menyatakan tidak bisa. Hei, pembentukan Tim PPHAM itu bukan dari Komnas HAM, bukan merupakan tindak lanjut dari hasil investigasi Komnas HAM itu yang pertama. Kedua, tim PPHAM juga bilang bahwa menggali informasi dari korban berarti kan korbannya sudah ditargetkan sudah dipilih ini korban yang mana saja supaya tidak melebar meluas dan segala macamnya, jadi kepura-puraan terlihat jelas begitu," ucap Julius kepada KBR, Kamis, (12/01/2023).

Keadilan Bagi Korban

Ketua PBHI Julius Ibrani menambahkan, keadilan bagi korban hanya terpenuhi jika ada pengungkapan kebenaran, ajudikasi terhadap pelaku, reformasi institusional dan pemenuhan hak-hak korban.

Menurutnya, pengungkapan itu meliputi informasi peristiwa, pelaku dan instansinya yang bertanggung jawab hingga agenda reformasi.

"Pernyataan Presiden Jokowi yang sebatas mengakui dan menyesali tidaklah menjawab apa pun. Yang artinya, Presiden Jokowi justru menjadi bagian dari pelanggengan pelanggaran HAM berat yang secara otomatis akan menyebabkan pengulangan peristiwa dan impunitas terhadap pelaku. Presiden Jokowi menjadi bagian dari pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu dengan tindakan berupa ommission akibat berkuasa namun membiarkan," ucapnya.

"Bubarkan Tim PPHAM, kembali pada investigasi pelanggaran HAM berat melalui Komnas HAM dan memastikan Jaksa Agung segera menuntut pelaku ke hadapan pengadilan HAM," sambungnya.

Penolakan

Paguyuban keluarga dan korban Talangsari Lampung (PK2TL) menginginkan penyelesaian kasus HAM berat lewat jalur yudisial, sebagaimana permintaan keluarga korban.

Menurut Ketua Paguyuban keluarga dan korban Talangsari Lampung, Edi Arsadad, penyelesaian yudisial berbeda dengan upaya pemulihan hak korban. Pemulihan hak korban merupakan kewajiban pemerintah.

"Terkait dengan adanya pemerintah ini memberikan memulihkan dan lain-lain, silahkan saja kami akan terima. Tapi, jangan dilegitimasi untuk penyelesaian begitu. Itu kita tidak mau. Berapapun angkanya, tidak akan kita terima. Sebesar apa pun angkanya terus kasusnya selesai dengan damai? Itu tidak kita terima. Kita tetap meminta kasus ini diselesaikan melalui jalur yudisial," kata Edi saat dihubungi KBR, Kamis, (12/01/23).

Ketua Paguyuban keluarga dan korban Talangsari Lampung, Edi Arsadad menyebut, penyelesaian kasus lewat jalur yudisial telah disepakati seluruh keluarga korban. Bahkan, permintaan itu telah disampaikan ke Tim PPHAM.

Edi meminta kasus pelanggaran HAM berat harus dibawa ke pengadilan, diungkap pelakunya dan dihukum sesuai undang-undang. Edi juga meminta pemerintah memulihkan stigma yang selama ini masih melekat pada korban pelanggaran HAM berat.

Pembentukan Tim PPHAM

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM).

Tim ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi yang Berat Masa Lalu.

Tim PPHAM terdiri atas Tim Pengarah dan Tim Pelaksana, dengan masa kerja hingga 31 Desember 2022. Namun, bisa diperpanjang kembali dengan keputusan presiden.

Tim Pelaksana:

- Ketua: Makarim Wibisono

- Wakil: Ifdhal Kasim

- Sekretaris: Suparman Marzuki.

Anggota:

- Apolo Safanpo

- Kiki Syahnarki

- Mustafa Abubakar

- As'ad Said Ali

- Zainal Arifin Mochtar

- Akhmad Muzzaki

- Komaruddin Hidayat

- Rahayu

Tugas Tim Pelaksana antara lain melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM hingga tahun 2020.

Tim Pelaksana nantinya akan diberikan arahan oleh Tim Pengarah, yang diketuai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD.

Rampung

Desember tahun lalu, Tim PPHAM telah merampungkan tugasnya. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sekaligus Ketua Tim Penyelesaian Non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, Mahfud MD mengatakan semua korban dan keluarga direkomendasikan mendapat santunan.

Mahfud menyampaikan itu usai menyampaikan laporan akhir Tim PPHAM. Ia membantah santunan diberikan hanya untuk pihak korban PKI.

"Itu tidak benar. Karena berdasar hasil tim ini justru yang harus disantuni bukan hanya korban-korban dari pihak PKI, tetapi juga direkomendasikan korban kejahatan yang muncul di saat itu, termasuk para ulama dan keturunannya. Tidak benar juga ini misalnya mau memberi angin kepada lawan Islam, karena dukun santet di Banyuwangi itu yang akan diselesaikan dan disantuni semuanya ulama. Di Aceh itu semuanya Islam," ujar Mahfud saat konferensi pers daring, Rabu, (11/1/23).

Kata Mahfud, Tim PPHAM juga menyampaikan kepada Presiden rekomendasi sosial, politik, ekonomi termasuk pendidikan HAM kepada keluarga besar TNI dan Polri.

Mahfud memastikan rekomendasi Tim tak bakal menghapus proses penyelesaian yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.

Kata dia, presiden mencoba dan memulai membuka jalan menyelesaikan kebuntuan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini dengan membentuk tim penyelesaian nonyudisial.

Pengakuan Pemerintah

Presiden Jokowi mengakui ada sejumlah kasus pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada berbagai peristiwa di tanah air.

Presiden menyampaikan itu usai menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang

Tim PPHAM mulai bekerja sejak Keppres 17/2022 ditetapkan pada 26 Agustus 2022 lalu sampai 31 Desember 2022.

Ada 12 kasus yang disebut Jokowi.

Berikut 12 kasus pelanggaran berat masa lalu:

1. Peristiwa 1965-1966;

2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;

3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;

4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989;

5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998;

6. Peristiwa kerusuhan Mei 1998;

7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999;

8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;

9. Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999;

10. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002;

11. Peristiwa Wamena, Papua di 2003, dan

12. Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.

Presiden memastikan bahwa pemerintah akan berupaya memulihkan hak para korban secara adil dan bijaksana. Ia juga bakal memastikan kasus serupa tidak terulang lagi di masa depan.

"Yang pertama saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Yang kedua saya dan pemerintah berupaya agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Rabu (11/01/23).

Presiden menyampaikan simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban.

"Dan saya minta kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Mahfud MD, red) untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik," katanya.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • Tim PPHAM
  • HAM
  • Hak Asasi Manusia

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!