NASIONAL

Ketika Jokowi Bersuara Kebebasan Beribadah, Konstitusi Tidak Boleh Dikalahkan oleh Kesepakatan

"Kasus gangguan kebebasan beribadah masih terus terjadi di berbagai daerah. Sejak 2007 hingga 2022, terjadi 500-an kasus gangguan terhadap kebebasan beribadah maupun pembangunan rumah ibadah."

kebebasan beribadah
Ilustrasi. Warga melintas di depan mural toleransi di Kampung Gondekan, Solo, Jawa Tengah (3/1/2018). (Foto: ANTARA/Moh Ayudha)

KBR, Jakarta - Kasus larangan pembangunan tempat ibadah seperti di Cilegon, Banten atau di tempat lain memantik perhatian Presiden Joko Widodo. Ia meminta para pimpinan daerah memberikan jaminan kebebasan beribadah dan beragama. 

Presiden juga meminta aparat agar memahami isi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengenai jaminan kebebasan beragama dan beribadah. 

"Konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan. Ada rapat, FKUB misalnya, sepakat tidak memperbolehkan membangun rumah ibadah. hati-hati, konstitusi kita menjamin itu. Ada peraturan wali kota, ada instruksi bupati. Hati-hati, kita harus tahu semua masalah ini, Konstitusi kita memberikan kebebasan beragama dan beribadah,” tegas Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Sentul International Convention Center (SICC), Kabupaten Bogor, Selasa (17/1/2023).

Jokowi menekankan agama minoritas juga memiliki hak yang sama untuk beribadah, sama dengan agama mayoritas di tanah air yaitu Islam.

“Ini yang beragam kristen, katolik, hindu, konghucu, hati-hati. Ini memiliki hak yang sama dalam beribadah. Memiliki hak yang sama dalam hal kebebasan beragama dan beribadah. Hati-hati beragama dan beribadah itu dijamin oleh konstitusi kita, dijamin oleh UUD 1945, pasal 29 ayat 2,” katanya.

Baca juga:

Pada akhir tahun lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan agar pemerintah mencabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pembangunan rumah ibadah.

Anggota Komnas HAM Hari Kurniawan mengatakan SKB itu kerap memicu konflik dan diskriminasi di masyarakat. Ia merekomendasikan pemerintah daerah menjadikan kebijakan yang ada di Komnas HAM sebagai salah satu acuan dalam pembangunan rumah ibadah.

"Evaluasi Komnas HAM terhadap SKB ini ya harus dicabut memang SKB ini. Karena SKB ini awal mulanya kemudian terjadi penolakan pendirian tempat ibadah di mana-mana. Bahkan bukan hanya lain agama ataupun lain kepercayaan. Tapi satu agama pun bisa seperti itu. Pemerintah daerah, untuk membuat peraturan terkait pendirian rumah ibadah harus mengacu kepada standar norma dan pengaturan nomor 2, yang dikeluarkan oleh Komnas HAM, tentang hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan," ucap Hari saat dihubungi KBR (23/12/22).

Anggota Komnas HAM Hari Kurniawan menambahkan peraturan Komnas HAM tersebut dapat dijadikan acuan agar pemerintah daerah mengedepankan sikap toleransi beragama dan berkeyakinan antar masyarakat.

    Lembaga Setara Institute menilai persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah di Indonesia butuh perhatian serius dari pemerintah pusat dan daerah. Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan menyebut masih banyak gangguan terhadap peribadahan dan tempat ibadah yang menimpa kelompok minoritas.

    “Sepanjang satu dekade setengah terakhir, dari tahun 2007 sampai 2022 telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadahan dan tempat ibadah. Gangguan tersebut mencakup pembubaran, dan penolakan tempat ibadah, intimidasi perusakan, pembakaran dan lain sebagainya,” kata Halili saat dihubungi KBR (19/1/2023).

    Halili Hasan mengatakan tindakan diskriminasi dan pembatasan kegiatan peribadahan, salah satunya disebabkan oleh rendahnya kapasitas daerah dalam mengelola isu kebhinekaan dan jaminan konstitusional atas kebebasan beragama atau berkeyakinan.

    “Khususnya hak untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah bagi kelompok minoritas. Dengan ada kecenderungan penyangkalan, pembiaran, atau bahkan aktif melakukan diskriminasi terhadap minoritas. Dan situasi tersebut diperburuk dengan seringnya pusat lepas tangan dalam kasus-kasus demikian yang terjadi di daerah. Padahal urusan agama bukanlah urusan pemerintahan yang didesentralisasi dari Pusat ke Daerah oleh UU Pemerintahan Daerah,” imbuhnya.

    Baca juga:

    Halili mendorong agar Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri melakukan langkah progresif untuk menghilangkan ketentuan-ketentuan diskriminatif dalam Peraturan Bersama Menteri, yang sering juga disebut sebagai SKB 2 Menteri.

    “Jadi di dalam PBM itu kan ada beberapa fokus diskriminasi misalnya administratif dukungan 90 orang Jemaat dan 60 orang di luar jamaat itu nyata-nyata memberikan hambatan, bagi terjaminnya hak konstitusional untuk beribadah yang collapse. Pasal 29 ayat 2 memberikan kepada setiap orang atau tiap-tiap penduduk,” ujarnya.

      Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PAN Guspardi Gaus memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, harus ada kajian lebih mendalam, apakah berbagai persoalan diskriminasi ibadah dan tempat ibadah, disebabkan oleh SKB 2 Menteri atau bukan.

      “Dari 500 persoalan yang berkaitan dengan masalah ini, masalahnya apa, substansinya baga imana? Apakah ini akibat SKB atau bagaimana? Dan SKB 2 Menteri itu juga kita perlu lakukan kajian. Apa sesuatu yang dilanggar dari UU,” ucap Guspardi saat dihubungi KBR (19/1/2023).

      Namun ia menekankan SKB 2 Menteri harus patuh kepada UUD 1945, yang memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah.

      “Tentu saya yakin dan percaya bahwa SKB 2 Menteri itu harus tunduk dan patuh pada UU yang lebih tinggi, tidak boleh bertentangan. Urutan perundangan itu kan sudah jelas. Ada namanya UUD, UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan seterusnya sampai dengan SKB 2 Menteri,” katanya.

      Baca juga:

      Editor: Agus Luqman

      • rumah ibadah
      • diskriminasi rumah ibadah

      Komentar (0)

      KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!