NASIONAL

Ungkap Kasus Hukum Mandeg, Jurnalis Asal Maros Raih Penghargaan Pogau

"Para juri sepakat bahwa upaya Eko Rusdianto meliput dan mengangkat kasus kekerasan seksual merupakan sebuah keberanian dalam jurnalisme."

Rony Sitanggang

Tangkapan layar tulisan  Eko Rusdianto peraih Penghargaan Oktovianus Pogau.
Tangkapan layar tulisan Eko Rusdianto peraih Penghargaan Oktovianus Pogau.

KBR, Jakarta -  Yayasan Pantau memberi Penghargaan Oktavianus Pogau 2022 kepada  Eko Rusdianto, seorang wartawan dari Maros,  Sulawesi Selatan, yang sering meliput diskriminasi dan pelanggaran hak perempuan dan minoritas seksual, hak masyarakat adat dan petani, maupun kerusakan lingkungan hidup. Penghargaan  Oktovianus Pogau diberikan untuk keberanian dalam jurnalisme.

“Keputusan Eko Rusdianto buat menggali sebuah kasus, dan belajar soal liputan trauma, lantas mendapat kepercayaan dari ibu para korban buat menulis kekerasan seksual, serta bikin laporan yang kritis, membuat para juri sepakat bahwa ia sebuah keberanian dalam jurnalisme,” kata Coen Husain Pontoh, juri Penghargaan Oktovianus Pogau dari Indo Progress, New York.

Pada 6 Oktober 2021, Rusdianto membuat laporan dari penugasan Project Multatuli soal dugaan pemerkosaan terhadap tiga anak. Perkosaan diduga dilakukan ayah korban, seorang birokrat di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Laporannya terbit di Jakarta, berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan.”

Liputan tersebut menggemparkan dunia maya hingga muncul tanda pagar #PercumaLaporPolisi viral di media sosial. 

Situs projectmultatuli.org mendapat serangan peretasan dengan teknik DDOS (Distributed Denial of Service) sehingga down, dan dicap berita bohong oleh Polres Luwu Timur. Puluhan media lain menerbitkan laporan tersebut di website masing-masing.

Baca juga: 

Awalnya, Eko Rusdianto ingin menuliskan kisah “Ibu Lydia” namun merasa belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan soal liputan trauma, terutama terhadap korban kekerasan seksual. 

“Ibu Lydia” melaporkan mantan suaminya kepada polisi dengan tuduhan kekerasan seksual terhadap ketiga anak perempuan mereka.

Saat pemeriksaan tahun 2018 terhadap kasus di Luwu Timur, Indonesian Judicial Research Society menyimpulkan berbagai prosedur yang cacat dari Dinas Sosial maupun Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Luwu Timur dalam menerima keluhan Ibu Lydia. 

Mereka mengusulkan kedua kantor pemerintah tersebut, beserta kepolisian, membuka kembali kasus dengan prosedur pendampingan baru terhadap korban kekerasan seksual. Namun, pada 2019, kasus dugaan kekerasan seksual ini dihentikan di Kepolisian Luwu Timur. 

Rusdianto mulai membaca berkasnya bersama kenalannya di Lembaga Bantuan Hukum Makassar. Pada 2021, Project Multatuli menghubungi Rusdianto agar menulis tentang kasus-kasus hukum yang mandek. 

Rusdianto mengusulkan tentang kasus kekerasan seksual di Luwu Timur. Dia ingin menyambung suara “Ibu Lydia” yang disebut gangguan jiwa di Luwu Timur gegara memperkarakan bekas suaminya.

“Keputusan buat membongkar kasus yang sudah ditutup polisi adalah sebuah keberanian. Ini sesuatu yang lazim dilakukan wartawan dalam masyarakat yang dukung demokrasi,” kata Pontoh. “Project Multatuli membuat kebijakan yang baik dengan menyediakan dana buat bongkar kasus-kasus dingin.”

Eko Rusdianto kelahiran September 1984, di kampung Kombong, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Dia kuliah jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Fajar. 

Pontoh mengatakan, “Kami hormat pada pergulatan serta kesulitan wartawan lepas macam Rusdianto dalam melawan kebekuan birokrasi kepolisian. Liputannya seyogyanya dipakai sebagai masukan buat memperbaiki kinerja Polres Luwu Timur, maupun kepolisian secara nasional, dalam mengungkap kekerasan seksual.”

Tentang Penghargaan Pogau

Nama Oktovianus Pogau, diambil dari seorang wartawan Papua, kelahiran Sugapa pada 1992. Pogau meninggal di usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura, sesudah pulang dari perjalanan di Amerika Serikat sebulan sebelumnya. Tubercolosis kambuh karena perjalanan di musim dingin.

Pada Oktober 2011, Pogau pernah melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Tiga orang meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar.

Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat sejak 1965. Dia juga memprotes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata.

Penghargaan dari Yayasan Pantau  ini diberikan buat mengenang keberanian Pogau. Diberikan sejak 2017 dengan Febriana Firdaus sebagai penerima pertama. Ia rutin diberikan setiap tahun: Citra Dyah Prastuti dari KBR Jakarta (2018); Citra Maudy dan Thovan Sugandi dari Balairung Press, Yogyakarta (2019), Yael Sinaga dan Widiya Hastuti dari Medan (2020); serta Phil Jacobson dari Mongabay, Chicago (2021).

Editor: Agus Luqman

  • penghargaan pogau
  • yayasan pantau
  • Kebebasan Pers
  • oktavianus pogau
  • #PercumaLaporPolisi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!