BERITA

Tak Perhatikan Dampak Perubahan Iklim, Indonesia Berpotensi Rugi Hingga Rp544 Triliun

""Ini yang harus kita antisipasi bagaimana kita mengurangi potensi kerugian yang kita alami,""

Ranu Arasyki

Ilustrasi: Kepulan asap dari pabrik smelter nikel di kawasan VDNI, Kecapatan Morosi, Konawe, Sulawes
Ilustrasi: Kepulan asap dari pabrik smelter nikel di kawasan VDNI, Kecapatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara. Selasam (14/12/21). (Foto: Antara/Jojon)

KBR, Jakarta— Kementerian PPN/Bappenas mengungkapkan Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi hingga mencapai Rp544 triliun sepanjang 2020–2024 jika masih menggunakan pola business as usual dan tidak tanggap terhadap isu perubahan iklim.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Merdrilzam menyatakan, berdasarkan kajian Bappenas, kerugian ekonomi itu ditaksir paling banyak bersumber dari pesisir dan   laut senilai Rp408 triliun, bidang pertanian Rp78 triliun, kesehatan Rp31 triliun, dan ketersediaan air Rp28 triliun.

"Potensi kerugiannya sudah dihitung, sampai 2024 diperkirakan kerugian ekonomi akibat berbagai bencana akibat perubahan iklim ini cukup besar. Dan ini yang harus kita antisipasi bagaimana kita mengurangi potensi kerugian yang kita alami," ujarnya pada acara Transisi ke Ekonomi Hijau, Kamis (6/1/2022).

Dia menguraikan, potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim, antara lain disebabkan oleh kecelakaan kapal dan genangan pantai, penurunan ketersediaan air, penurunan produksi beras, dan peningkatan kasus demam berdarah.

Baca Juga:

Investor Sudah Siap, Pemerintah Optimistis Segera Bangun Industri Baterai

Kurangi Emisi Karbon, Kementerian ESDM Dorong Pembangunan PLTS

Lebih lanjut, katanya, merujuk kepada catatan BNPB 2020, hampir 99% bencana alam yang terjadi di Indonesia 99% disebabkan oleh faktor hidrometeorologi yang terkait dengan iklim global. Tiap tahunnya, kerugian ekonomi negara akibat pengaruh hidrometeorologi mencapai Rp22,8 triliun.

Selain itu, tingginya emisi gas rumah kaca (GRK) akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Menurut dia, jika Indonesia masih menjalankan business as usual, emisi GRK akan semakin meningkat terutama didominasi oleh sektor energi.

"Dan target visi 2045 yang dicanangkan presiden tidak akan tercapai karena dampak Covid-19 masih sangat terasa. Ini perlu melakukan lompatan-lompatan yang saya kira perlu kolaborasi yang sangat kuat dari berbagi pihak," ujarnya.

Perangkap pendapatan menengah

Tak hanya itu, jika pola business as usual berlanjut, Indonesia tidak akan bisa lepas dari Perangkap pendapatan menengah hingga 2045. Oleh karena itu, katanya, Indonesia membutuhkan strategi transformasi ekonomi untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi untuk mencapai visi Indonesia 2045.

"Dan ini ada beberapa proyeksi, terutama untuk pendapatan per kapita ini kelihatannya tidak akan mencapai target seperti yang diinginkan di level US$12 ribu, atau US$13 ribu. Ini sebenarnya level di mana kita bisa lepas dari middle income trap. Kalau kita masih business us usual itu tidak akan tercapai seperti apa yang sudah kita rencanakan sebelumnya," katanya.

Baca Juga:

Jokowi Tak Menyangka, Investor Ngantre Ingin Berinvestasi EBT di Indonesia

Pangkas Batu Bara, Indonesia-Denmark Bakal Garap Energi Bersih di 4 Provinsi

Di segi eksternal, Uni Eropa (UE) akan menerapkan kebijakan Green  New Deal untuk karbon netral 2050. Nantinya, setiap produk yang masuk ke negara-negara UE akan dikenai pajak bagi yang mengandung produk berkarbon tinggi. Kebijakan ini diprediksi akan diikuti oleh negara-negara maju lain yang pro terhadap isu perubahan iklim. Berkaca dari kebijakan itu, lanjutnya, Indonesia harus segera memperbaiki proses produksi yang ramah iklim dan lingkungan agar kegiatan ekspor produk dalam negeri tidak terganggu.

Dia menambahkan, gerakan ekonomi hijau akan menciptakan peluang kerja baru (green jobs) dan investasi baru (green investment), mendorong pertumbuhan ekonomi yang rendah karbon, meningkatkan daya dukung SDA dan lingkungan hidup.

Saat ini, katanya, Bappenas tengah mendorong enam strategi besar, yakni pengembangan SDM, peningkatan produktivitas ekonomi, pemindahan ibukota negara, transformasi digital, integrasi ekonomi domestik, dan ekonomi hijau dan rendah karbon.

Editor: Rony Sitanggang

  • green economy
  • pajak karbon
  • emisi karbon
  • EBT
  • Bappenas
  • perubahan iklim
  • Dampak Perubahan Iklim

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!