BERITA

MPBI Dorong Gerakan Kurangi Risiko Bencana di Tingkat Komunitas

"Tidak bisa diserahkan satu atau dua pihak saja."

Siti Sadida Hafsyah

Mitigasi bencana alam
Bencana alam banjir melanda Kabupaten Aceh Utara, Aceh. (FOTO: KBR/Erwin Jalaluddin).

KBR, Jakarta- Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) menilai kesiapsiagaan bencana di Indonesia perlu dibangun dari tingkat komunitas. Sebab, respons cepat terhadap bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat.

Ketua Umum MPBI Avianto Amri mengatakan bencana adalah urusan semua orang. Karena itu menurutnya, tanggung jawab pencegahan atau kesiapsiagaan saat bencana, tidak bisa diserahkan satu atau dua pihak saja.

"Kita juga mendorong dari MPBI, perlunya gerakan pengurangan risiko bencana itu berbasis komunitas. Jangan itu bersifatnya top down. Tapi, bagaimana kita bisa membangun di komunitas kita, di warga kita setempat itu, biar semua komponen itu bisa bekerja bersama untuk mencegah terjadinya bencana. Bencana itu urusan semua orang," jelas Avianto saat dihubungi KBR (12/01/22).

Ketua Umum MPBI Avianto Amri mengatakan dalam upaya pencegahan sebetulnya pemerintah melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah menyampaikan informasi peringatan dini. Seperti potensi bencana hidrometeorologi yang terjadi pada awal tahun ini, salah satunya disebabkan oleh Fenomena La Nina.

"Sistem peringatan dini kita harus diperkuat. Bagaimana warning itu bisa sampai ke publik, dan juga mendorong masyarakat melakukan tindakan. Karena percuma kita mendapat informasi dari Whatsapp misalkan. Informasi yang mungkin tidak dimengerti, masyarakat tidak paham bagaimana memproses misalnya peringatan dini terkait banjir," tuturnya.

Permasalahannya, tidak semua masyarakat memahami informasi peringatan dini yang disampaikan BMKG, dan bagaimana harus meresponsnya.

"Percuma juga jika hanya selewat saja. Tidak ada tindakan yang bisa dilakukan sama masyarakat bagaimana mereka bisa mengantisipasi ancamannya," ucapnya.

Ia menekankan perlu ada keterlibatan berbagai pihak dalam upaya penguatan kesiapsiagaan bencana di Indonesia.

"Pola kesiapsiagaan yang terjadi saat ini masih sporadis, terisolasi, masih berjalan sendiri-sendiri dan belum terstruktur. Kalau di bencana ini ada konsep pentahelix (multipihak). Pemerintah tidak berjalan sendiri, pemerintah bisa berkolaborasi dengan pihak swasta, LSM, akademisi, bisa bergerak bersama-sama. Sejauh ini kita masih banyak PR-nya,"

Menurutnya, pemerintah daerah belum sigap dalam mengantisipasi ancaman ini. Padahal, sudah ada peringatan dini dari BMKG terkait dengan fenomena alam dan ancaman bencana hidrometeorologi.

"Fenomena La Nina itu membuat kemungkinan terjadinya cuaca ekstrem itu sangat besar. Dan ini bisa memicu banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, angin puting beliung, dan juga badai. Misalnya waktu dulu kita menghadapi badai seroja yang berdampak di NTT NTB," katanya.

Ia menambahkan, "Kita sudah tiga bulan berjalan dalam fenomena La Nina ini, dan informasi terakhir 3 bulan inilah Januari-Februari kita menghadapi puncaknya dalam cuaca basah sehingga perlu lebih dikencangkan dari segi mitigasi dan kesiapsiagaan," tuturnya.

Baca juga:

Daerah Belum Tanggap Atasi Bencana

Masalah Klasik

Dalam beberapa bulan terakhir terjadi bencana banjir dan longsor di sejumlah daerah. Di Aceh, banjir di sejumlah kabupaten kota menyebabkan 24 ribu orang mengungsi selama sepekan.

Di Jayapura, banjir menewaskan delapan orang. Banjir juga terjadi di Kabupaten Lebak Banten, Pasuruan Jawa Timur, Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, dan beberapa daerah lain.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana menilai masih banyak daerah yang belum begitu tanggap terhadap bencana di daerah masing-masing. Padahal, pemerintah daerah adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam mencegah dan menangani bencana alam di daerahnya.

"Kalau misalkan daerah itu mungkin permasalahan-permasalahan klasik ya. Adanya keterbatasan dukungan sumber daya manusia, adanya keterbatasan regulasi, penganggaran. Berkisarnya pasti ada di situ. Meskipun dari sisi penganggaran pun menteri keuangan sudah menjelaskan bahwa di daerah itu ada namanya item anggaran di BTT, biaya tidak terduga yang harus dialokasikan oleh pemerintah daerah, yang akan digunakan jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam," ujar Abdul saat dihubungi KBR (12/01/22).

Abdul Muhari mengatakan dalam mekanisme itu, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi atau memberikan dukungannya ketika pemerintah daerah menetapkan status siaga darurat sebelum terjadinya bencana, atau status tanggap darurat setelah terjadinya bencana. Namun masih ada keterbatasan pengetahuan di daerah.

Editor: Sindu

  • Bencana Alam
  • MPBI
  • BNPB
  • BMKG
  • BPBD
  • Banjir di Aceh
  • Banjir di Jayapura
  • Kemensos
  • Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia
  • Korban bencana alam
  • Mitigasi bencana alam

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!