BERITA

Komisi Energi DPR Minta Ada Sanksi Tegas Perusahaan Batu Bara yang Melanggar Ketentuan DMO

""Ini adalah momentum yang bagus bagi kita untuk bisa menerapkan sanksi yang tegas terhadap mereka-mereka yang belum menerapkan DMO-nya. ""

Ilustrasi: Tumpukan batu bara di Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, S
Ilustrasi: Tumpukan batu bara di Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, SumSel. Selasa, (4/1/22). (Foto: ANTARA/Nova Wahyudi)

KBR, Jakarta— Wakil Ketua Komisi VII bidang energi DPR Eddy Soeparno mendesak pemerintah untuk memberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan batu bara yang tidak memenuhi ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25 persen dari total produksi.

Eddy mengatakan, Sanksi tersebut dapat berupa pembekuan izin ekspor hingga pencabutan izin usaha. Bahkan, menurutnya, awal tahun ini merupakan momentum bagi pemerintah untuk memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan itu.

"Ini adalah momentum yang bagus bagi kita untuk bisa menerapkan sanksi yang tegas terhadap mereka-mereka yang belum menerapkan DMO-nya. Kedua, ini momentum yang tepat bagi kita untuk mengakselerasi bauran energi alternatif, energi terbarukan, energi transisi gas, supaya ketergantungan kita terhadap energi fosil atau batu bara tidak terlalu tinggi lagi ke depannya," kata Eddy Soeparno saat dihubungi KBR, Selasa (4/1/2022).

Menurut Eddy, minimnya cadangan batu bara untuk PLTU tidak akan terjadi jika produsen batu bara patuh terhadap ketentuan DMO. Dalam pantauannya, beberapa bulan terakhir ini stok batu bara untuk kebutuhan listrik merosot disebabkan banyaknya perusahaan batu bara berlomba-lomba memanfaatkan momentum kenaikan harga di pasar global.

Baca Juga:

Apalagi, sampai saat ini harga batu bara acuan (HBA) berada di atas HBA kelistrikan umum. Kondisi itu membuat banyak perusahaan tambang yang dibebankan DMO tidak memenuhi kewajibannya, sehingga membuat pasokan batu bara untuk nasional menjadi menurun.

"Kita punya produksi batu bara sekitar 630 juta ton per tahun. Kalau semua perusahaan pertambangan memenuhi DMO, saya kira tidak ada permasalahan terkait kebutuhan batu bara," imbuhnya.

Berkaca pada kondisi itu, Eddy menyambut baik keputusan pemerintah mengenai pelarangan ekspor batu bara per 1-31 Januari tahun ini. Langkah itu dilakukan agar tidak terjadi pemadaman listrik bergilir di sejumlah wilayah yang berimbas negatif terhadap industri dan masyarakat.

Sebelumnya, lanjut Eddy, kebutuhan batu bara di PLTU masih tercukupi. Pasca pemulihan ekonomi, permintaan komoditas tersebut mendadak melonjak. Banyak perusahaan tambang yang tadinya memproduksi dengan volume rendah, menggenjot produksinya untuk memenuhi permintaan pasar ekspor.

Baca Juga:

"Sementara, PLN mendadak yang tadinya terjadi pengurangan dari kapasitas aliran listrik sebesar 30-40 persen, melonjak menjadi tinggi. Jadi ini masalah supply and demand saja, bagaimana mengatur demand yang tinggi," ungkapnya.

Merosotnya cadangan batu bara menurut Eddy tidak semata disebabkan oleh pelanggaran DMO. Dia menjelaskan, beberapa faktor lain yang menjadi penyebab rendahnya stok batu bara di PLTU disebabkan mulai dari pengaruh cuaca yang buruk, transportasi di segi ketersediaan tongkang, dan kondisi air laut yang menghambat distribusi.

"Banyak perusahaan tongkang perkapalan karena mereka tidak beroperasi sepanjang dua tahun pandemi ini, banyak pegawainya sudah diberhentikan, di PHK, dirumahkan dan mereka sudah mencari pekerjaan lain. Jadi,ini memang multi kompleks permasalahannya," tutupnya.

Editor: Agus Luqman

  • batu bara
  • EBT
  • Gencarkan Hilirisasi
  • DPR Komisi VII
  • PLTU
  • DMO
  • perusahan batu bara

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!