NASIONAL

Kementerian ESDM: EBT Masih Minim, Penggunaan Batu Bara Berpotensi Tingkatkan Emisi Karbon

""Saat ini pembangkit listrik masih didominasi oleh pembangkit fosil yang berpotensi menghasilkan emisi karbon. Sedangkan pembangkit EBT pemanfaatannya masih relatif kecil""

Ranu Arasyki

Ilustrasi: Pembangunan PLTU Sumsel 8 di Tanjung Agung Muara Enim, Sumatera Selata. Selasa (16/11/21)
Ilustrasi: Pembangunan PLTU Sumsel 8 di Tanjung Agung Muara Enim, Sumatera Selata. Selasa (16/11/21). (Foto: Antara/Nova Wahyudi)

KBR, Jakarta — Kementerian Energi, Sumber Daya Alam dan Mineral (ESDM) memproyeksi penggunaan energi fosil batu bara akan terus meningkat untuk memenuhi pasokan bahan baku industri dan menyuplai kelistrikan negara.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial tindak memungkiri, penggunaan batu bara yang terus menerus itu berpotensi menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi. Ditambah hingga kini penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) masih belum begitu agresif.

"Saat ini pembangkit listrik masih didominasi oleh pembangkit fosil yang berpotensi menghasilkan emisi karbon. Sedangkan pembangkit EBT pemanfaatannya masih relatif kecil. Di samping itu akses listrik untuk masyarakat belum mencapai 100 persen, dan konsumsi listrik per kapita di Indonesia masih relatif rendah," ujar Ego Syahrial, pada acara Outlook Economic 2022 – Hipmi, Rabu (26/1/2022).

Baca Juga:

Pada 2021 produksi batu bara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mencapai 133 juta ton. Pasokan bahan mentah itu menurut dia akan meningkat menjadi 166 juta ton pada 2022.

Ego menyebut, meningkatnya penggunaan batu bara itu tidak terlepas dari bertambahnya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) oleh negara.

Rencananya, Kementerian ESDM akan menambah kapasitas PLTU hingga 2026 dengan masuknya PLTU dari program 35 ribu GW untuk masyarakat. Pembangunan PLTU ini akan menurun mulai 2031.

"Peningkatan kapasitas pembangkit dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan akses listrik untuk masyarakat, menjaga pasokan listrik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan energi transportasi berbasis listrik," sambungnya.

Lebih lanjut, pada 2021, realisasi kapasitas terpasang pembangkit nasional sudah mencapai 74 GW. Sementara pada 2022 kapasitas terpasang ditargetkan mencapai 76 GW, atau meningkat sebesar 2 GW.

Potensi Batu Bara Domestik

Ego Syahrial menuturkan, potensi batu bara yang dimiliki Indonesia masih sangat besar. Karena itu, pemerintah secara bertahap akan mendorong hilirisasi batu bara.

Salah satunya dengan pengembangan dimetil eter sebagai substitusi liquefied petroleum gas (LPG) sehingga diharapkan dapat mengurangi impor.

Hilirisasi batu bara ini sejalan dengan realisasi groundbreaking project dimetil eter (DME) yang dilakukan Presiden Joko Widodo di Tanjung Enim, Sumatera Selatan beberapa hari lalu.

Baca Juga:

Batu bara yang diproduksi sebagian besar dikonversi menjadi tenaga listrik. Selain itu juga digunakan di dalam industri dan rumah tangga.

"Pemanfaatan batu bara ini juga harus memerhatikan isu lingkungan seperti tingginya rmisi karbon yang dihasilkan serta dampak terhadap lingkungan jika tidak dilakukan kaidah pertambangan yang baik," tuturnya.

Dia menambahkan, untuk menuju net zero emission (NZE), pemerintah telah menyusun rencana phasing out PLTU batu bara. Rencana itu dilakukan terhadap PLTU milik PLN maupun nonPLN berdasarkan kontrak maksimal 30 tahun yang akan digantikan dengan pembangkit listrik EBT.

Editor: Agus Luqman

  • batu bara
  • larangan ekspor batu bara
  • Stop Ekspor Bijih Nikel
  • investasi hijau
  • Kementerian ESDM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!