Article Image

BERITA

Kampung Liu Mulang, Teladan Hidup Selaras dengan Alam

Rabu 20 Jan 2021, 01.46 WIB

Warga kampung adat Liu Mulang di Kalimantan Timur selama puluhan tahun merawat tradisi hidup selaras dengan alam. KBR/Astri Septiani

Di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur, masyarakat adat Liu Mulang hidup dengan kearifan lokal yang dijaga turun temurun. Tradisi hidup selaras dengan alam dilestarikan lewat aturan adat yang dilakoni dan dihayati. Beberapa waktu lalu, Jurnalis KBR Astri Septiani berkesempatan melihat dari dekat bagaimana warga menjaga alam dan lingkungannya.

Saya dan jurnalis lain disambut warga begitu tiba di Kampung Liu Mulang, yang berada di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

Letih dan penat usai menempuh perjalanan berat pada malam sebelumnya seketika sirna

Warga menyematkan gelang di tangan kami bertujuh, rombongan dari Jakarta.

Tanda bahwa kami adalah saudara mereka.

Warga memasang gelang sebagai tanda persaudaraan (Foto: WWF Indonesia)

Kami lantas bersua dengan Kepala Kampung Liu Mulang, Hendrikus Helaq.

Liu Mulang adalah komunitas adat subsuku Dayak Bahau Busang Uma Lakwe.

Mereka terkenal dengan tradisi hidupnya yang selaras dengan alam.

Tak kurang dari 6 ribu hektare hutan adat atau tanah peraa dikelola hati-hati agar tetap lestari

“Tanah pera itu istilah bahasa adat di sini tanah yang kita sayangi. Yang tidak boleh diganggu gugat tanah itu bahkan oleh masyarakat sendiri. Tanah itu dia berupa hutan, tanam tumbuh hutannya,” kata Hendrikus.

Kepala Kampung Liu Mulang Hendrikus Helaq (Foto: WWF Indonesia)

Selain hutan adat, warga Liu Mulang juga punya Sungai Danum Usaan. Anak sungai Mahakam ini dijaga lewat tradisi turun temurun.

“Tahun kemarin ada satu perusahaan HPH (hak pengusahaan hutan) mau masuk. Saya larang perusahaan itu masuk ke wilayah pinggiran sungai. Karena saya anggap sungai itu sangat penting bagi masyarakat. Ketika sudah digarap perusahaan mungkin sungai itu bisa keruh, mempengaruhi habitat-habitat yang ada, termasuk ikan,” ujarnya.

Hendrikus mengajak kami ke Sungai Danum Usaan untuk makan siang bersama

Kami menyeberangi sungai dengan perahu kecil yang disebut ketinting

Satu setengah jam kemudian kami sampai di bantaran sungai yang ramai oleh kesibukan warga menyiapkan hidangan

Kami bertemu Ketua Adat Liu Mulang, Gelung Ding

Ia bercerita bagaimana Sungai Danum Usaan dilindungi dengan aturan adat

"Kayak begini saja, datang ramai-ramai kan tidak apa-apa. Lalu dicarikan makan untuk bersama-sama. Yang kita larang, yang mereka ambil banyak lalu dijual ke tempat lain. Karena sungai, tumbuhan kita jaga, juga kita lindungi. Di sinilah kita cari bahan-bahan adatnya, ya kayu-kayu, ya rotan di sini. Nggak cari ke tempat lain lagi," tutur Gelung Ding.

red

Peralatan untuk menangkap ikan pun dibatasi, agar ekosistem tetap terjaga

“Siapa yang bawa setrum, setrumnya kita sita alat-alatnya. Sudah ada perjanjian itu. Jadi mereka sadar tidak pernah berani masuk tanpa izin. Pernah orang datang izin mau datang ke sini, cari ikan. Tapi jangan diperjualbelikan saya bilang, jangan bawa setrum, atau macam racun itu,” imbuhnya.

Bagi yang melanggar, sanksi denda menanti. Tiap pelanggar harus membeli gong sebagaimana diatur dalam kitab adat.

“Dendanya memang berat kalau melanggar itu. Ada gongnya itu. Besar nilainya, gong ada yang dari besi, ada yang bukan besi. Ada 10 juta kalau gong besi. Biar tidak seberapa kan juga denda. Kalau nggak ada gong ya diuangkan saja,” tutur Gelung Ding.

Acara adat sering digelar di tepi Sungai Danum Usaan yang dilindungi (Foto: WWF Indonesia)

Wilayah adat tanah peraa menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup warga Liu Mulang. Veronika Lawaq, mengisahkan, Sungai Danum Usaan merupakan pusat kegiatan warga, untuk acara adat atau sekedar bersantai.

“Kalau pas acara habis acara ngetam (panen) padi, kita satu kampung rombongan ke sini. Sebelum panen padi ada acara bersama untuk memupuk kebersamaan. Di samping itu adat istiadat supaya keluarga lebih erat lagi,” kata Veronica.

Veronica Lawaq (Foto: WWF Indonesia)

Rencana menyulap kampung Liu Mulang menjadi obyek wisata alam sudah lama dibahas. Namun, butuh banyak persiapan terutama membangun infrastruktur dan akses jalan, kata Kepala Badan Pemusyawaratan Liu Mulang, Yosep Liling.

“Potensi alam seperti arung jeram di atasnya sana nanti mungkin ada yang namanya mancing. Di samping itu bisa juga wisata berburu kalau ada wisatawan yang hobi trekking juga bisa. Seperti berburu babi, berburu rusa,” kata Yosep

Kepala Kampung Liu Mulang, Hendrikus Helaq berjanji tanah peraa bakal tetap lestari dan terjaga, meski fungsinya ditambah menjadi obyek wisata.

“Bisa kita kelola nanti kita buat peraturan tertentu, peraturan kampung kah, peraturan adat kah, tentang penggunaan kawasannya. Kemudian kita akan bentuk kelompok sadar wisata. Kegiatan Badan Usaha Milik Desa juga bisa dikelola untuk wisata itu,” kata Hendrikus.

Editor: Ninik Yuniati