BERITA

Suap KPU, Yasonna Yakin Harun Masiku Belum Kembali ke Indonesia

Suap KPU, Yasonna Yakin Harun Masiku Belum Kembali ke Indonesia

KBR, Jakarta-   Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia  Yasonna Laoly menyebut keberadaan politikus PDIP, Harun Masiku, tersangka dalam kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR, tidak berada di Indonesia. Yasonna mengatakan, Harun Masiku telah meninggalkan tanah air sejak 6 Januari silam, atau dua hari sebelum adanya operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.

"Tanggal 8 (Januari) kan OTT (KPK), tanggal 6 dia sudah diluar. Artinya apa tujuannya dia keluar kita belum tahu. Jadi kan keluar tanggal 6. Yang lebih tahu dia keluar kan pihak imigrasi. Dirjen imigrasi bilang masih di Singapura. Pokoknya belum di Indonesia," ucap Yasonna Laoly seusai menghadiri Acara Resolusi Pemasyarakatan 2020 di LP Cipinang, Jakarta Timur, Kamis (16/1/2020).

Yasonna mengatakan berdasarkan informasi yang dia terima dari pihak imigrasi, Harun bertolak ke Singapura pada 6 Januari. Setelah itu, menurut Yasonna, belum ada kabar terbaru mengenai keberadaan Harun. Ia memastikan, nantinya pihak imigrasi akan siap, apabila dimintai bantuan oleh KPK, dalam menelisik keberadaan politikus PDIP itu.


"Bahwa dia nanti kalau masuk dan apa permintaan dari KPK, nanti kita akan secara hukum akan kita terima. Nanti kalau ada permintaan dari KPK seperti apa, nanti kita lihat," ujar Yasonna.


Harun merupakan salah satu tersangka dalam kasus suap PAW yang juga menjerat mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan. KPK menduga Harun menyuap Wahyu agar dapat masuk ke Senayan menggantikan Riezky Aprilia melalui jalur PAW.


Berdasarkan penyelidikan KPK, Wahyu disebut meminta uang Rp 900 juta kepada Harun agar proses PAW disetujui. Harun merupakan satu-satunya tersangka yang belum disidik KPK, karena keberadaannya belum diketahui.

Konstruksi perkara suap ini berkaitan dengan permintaan agar Wahyu membantu Harun menjadi anggota DPR melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).

Perkara itu diduga telah terjadi awal Juli 2019. Salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan seorang advokat bernama Doni mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu.

Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya seorang calon anggota legislatif terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019.


Gugatan itu dikabulkan Mahkamah Agung pada 19 Juli 2019. MA menetapkan partai adalah penentu suara dan pengganti antar waktu.


Penetapan MA ini kemudian menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan HAR sebagai pengganti caleg yang meninggal tersebut.


Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas.


Dua pekan kemudian, pada 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan pada 23 September mengirimkan surat berisi penetapan caleg.


Seorang swasta bernama Saeful menghubungi Agustini dan melakukan lobi agar KPU mengabulkan Harun sebagai pengganti antar Waktu (PAW).


Agustini mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari Saeful, kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun sebagai anggota DPR melalui pergantian antarwaktu.


Wahyu menyanggupi untuk membantu dengan membalas: “Siap, mainkan!”


Guna membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR-RI pengganti antar waktu, Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta.


Demi merealisasikan hal tersebut dilakukan dua kali proses pemberian, yaitu pertengahan Desember 2019. Salah satu sumber dana yang namanya sedang didalami KPK memberikan uang Rp400 juta kepada Wahyu melalui Agustiani, Doni dan Saeful.


Wahyu menerima uang dari dari Agustini sebesar Rp200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.


Pada akhir Desember 2019, Harun memberikan uang pada Saeful sebesar Rp850juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP. Saeful selanjutnya memberikan uang Rp150juta pada Doni.


Sisanya Rp700 juta yang masih di SAE dibagi menjadi Rp450 juta pada ATF, Rp250 juta untuk operasional. Dari Rp450 juta yang diterima Agustini, sejumlah Rp400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk Wahyu. Uang itu masih disimpan oleh Agustini.


Pada Selasa, 7 Januari 2020 berdasarkan hasil rapat Pleno, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal.


Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi Doni menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW.


Pada Rabu, 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh Agustini. Wahyu pun terjaring KPK. Tim KPK menemukan dan menyita barang bukti uang Rp400 juta yang berada di tangan Agustini.


Wahyu dan Agustini sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Sementara Harun dan Saeful sebagai Pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Sementara Doni sudah menerima uang namun belum ditetapkan sebagai tersangka.


Editor: Rony Sitanggang

  • suap KPU
  • KPK
  • OTT KPK
  • Pergantian Antar Waktu
  • Wahyu Setiawan
  • PAW
  • politikus PDIP
  • Harun Masiku
  • yasonna

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!