BERITA

Teror Kekerasan Seksual Daring, Ini yang Harus Dilakukan

Teror Kekerasan Seksual Daring, Ini yang Harus Dilakukan
Ilustrasi: Aksi tolak kekerasan seksual. (Foto: Antara)

KBR, Jakarta- Juru Bicara  Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu menilai UU ITE yang mengatur larangan mendistribusikan konten terkait muatan asusila, dengan ancaman pidana 6 tahun dan denda satu milyar, sudah efektif menjerat pelaku pelecehan seksual berbasis daring. Kendati demikian, dia menyebut bahwa penegakan hukum atas UU ITE juga perlu ada perbaikan.

Ia tidak ingin UU ITE justru menjerat korban pelecehan seksual.

"Untuk pelecehan seksual untuk aduan konten yang kami terima pada umumnya misalnya WhatsApp, tetapi bukan grup, mereka cenderung japri. Twitter itu cenderung inbox. Facebook itu cenderung inbox, tapi messangger-nya. Di online itu banyak ya, kata-kata kasar, memaki atau rayuan yang menjurus pelecehan seksual kepada korban. Lalu yang modelnya mengirimkan alat kelamin agar korban menjadi jijik, takut," tutur Ferdinandus kepada KBR, Selasa  (29/1/2019).


Ferdinandus menambah, selain regulasi tertinggi berupa Undang-undang ITE yang dibuat pemerintah dengan DPR pada  2008, pemerintah juga membuat peraturan menteri yang mengimbau kepada pemilik platform media sosial untuk konsern terhadap isu pelecehan seksual.


Menurut laporan yang diterima oleh Kominfo, kebanyakan korban pelecehan seksual berbasis daring adalah remaja perempuan. Para pelaku kejahatan pelecehan seksual kerap kali memanfaatkan keluguan atau kelemahan korbannya untuk bertindak asusila.


Salah satu Korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), mengajak perempuan peduli keselamatan diri dan berani melaporkan tindak pelecehan yang diterima. Mawar --bukan nama sebenarnya-- dilecehkan secara verbal oleh orang tidak dikenal dengan alasan beda pilihan politik.

 

“Kalau dari saya pribadi saya mengajak setiap kita siapapun yang mengalami kekerasan seksual, pelecehan dalam bentuk apapun untuk berani bersuara, untuk berani melaporkan kalau memang harus dilaporkan. Dan yang kedua saya berharap seperti kepolisian juga bisa mengupgrade dirinya untuk lebih maaf, pinter lagi, melihat kasus  yang dilaporkan,” ujar Mawar di kantor Komnas Perempuan, Senin (28/01/2019).

 

Mawar mendapat  pelecehan seksual secara verbal setelah ia membuat film bergenre politik. Ia mendapat banyak teror dari ribuan nomor selular yang menanyakan  apakah ia seorang tukang pijat plus-plus. Bahkan tidak sampai di situ, banyak pula dari penawarnya yang memperlihatkan foto maupun video tak senonoh.

Mawar lantas melaporkan teror tersebut ke kepolisian Polda Metro Jaya. Namun sayang kata  dia, petugas tidak proaktif dan cenderung menyepelekan.

 

“Sebelum saya lapor ke polisi saya mengorek orang-orang yang whatsapp saya, saya minta id Btalk, saya minta id Wechat. Besok paginya saya hubungi Kominfo, saya hubungi Wechat untuk minta data nomor handphone, akhirnya Btalk merilis beberapa," urai Mawar.

Mawar melanjutkan, "tapi waktu saya melapor ke kepolisian, polisi nanya ke saya memang mba ini orang penting, pejabat? Terus kalau saya bukan pejabat saya  tidak boleh melapor? Sementara saya dirugikan. Akhirnya saya tegaskan dan laporan saya diterima. Tapi di situ juga ada omongan ada kemungkinan laporan saya dilimpahkan ke Polres. Saya marah, saya  tidak terima karena kasus temen saya sebelumnya itu dioper-oper.” Ujar dia.

Berkat kegigihannya selama 9 bulan, salah satu pelaku pelecehan yang meretas data  dan mengiklankan, tertangkap. Dari situ ia tahu bahwa motif kejahatannya tersebut hanya karena pelaku tidak suka dengan pandangan politiknya. 

 

“Saya harap kedepannya bukan lagi tugas saya atau siapapun yang menjadi korban untuk mencari korban lain, alat bukti atau pelaku dan lainnya. Dan untuk perempuan kenali diri bersikap berani bahwa saya adalah korban dan melapor. Biarpun kita bukan pejabat, atau pablik figur lainnya kita punya hak untuk dilindungi," tegasnya.


Menanggapi itu, Komnas Perempuan mendorong Perkap (peraturan Kapolri) diperbaiki. Komisioner   Indriyati Suparno mengatakan, kasus pelecehan seksual berbasis online rawan salah prosedur. Di antaranya karena  saksi, tersangka atau korban ditangani oleh tim cyber bukan oleh tim PPA.

Kata diam hal itu membuat  trauma hingga korban enggan melapor.

“Kepolisian sebetulnya harapan yang bisa kita dorong dari sisi regulasi itu adalah peraturan Kapolri. Peraturan Kapolri yang mengatur tentang tata cara penyidik berhadapan dengan perkara-perkara pidana yang melibatkan perempuan, baik dia sebagai saksi maupun pelaku. Sekarang ini sudah ada Perkap yang berkaitan dengan itu tapi belum memadai, untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus perempuan. Komnas sedang mendorong itu melalui satu mekanisme yang kita sebut sebagai sistem peradilan terpadu,” ujar Indriyati  di kantornya, Senin (28/01/2019).


Selain rentan menjadi korban kekerasan seksual, perempuan juga rentan dijadikan tersangka dalam kasus pelecehan. Kata Indri, beberapa kasus perempuan melaporkan tindak kekerasan, membuat ia ditersangkakan dengan undang-undang ITE pasal 27.

Menurut Indri, di   Mahkamah Agung telah ada suatu terobosan peraturan yang mempertimbangkan latar belakang perempuan melakukan tindak pidana misalnya atau melaporkan kekerasan yang dialami.

“Sudah ada peraturan Mahkamah Agung nomor 3 tahun 2017, itu pedoman hakim mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Itu peluang membangun perspektif atau cara pandang penegak hukum. Di mana dia sebagai saksi atau tersangka itu perempuan, hakim bisa menanyakan latar belakang seksualnya. Akan ada pengampunan atau keringanan,” ujar Indri.


Komnas Perempuan juga mendorong dari segi perundangan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sudah masuk dalam prolegnas bisa segera diundangkan. Menurutnya UU PKS ini bisa menjadi peluang untuk melindungi perempuan di depan hukum.


Untuk mencegah agar Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)  semakin marak, Komnas  Perempuan mengadakan beberapa program edukasi kepada perempuan untuk mencegah kekerasan di dunia maya. Di mana membuat orang khususnya perempuan cerdas bermain dan menggunakan fasilitas internet tanpa membahayakan.


Sejauh ini selama 2017,   Komnas Perempuan  menerima sebanyak 65 laporan kasus kekerasan seksual berbasis online. 10 persen diantaranya telah dilaporkan ke kepolisian.

Kata Indri, kurangnya pengawasan membuat kasus tidak berjalan.

“Sayang sekali memang saya belum mencatatkan apakah kasus yang dilaporkan itu sudah ditindak lanjuti sampai selesai atau SP3 atau berhenti di tengah jalan. Karena kalau mendengar dari kasus,  kalau pendamping atau korban tidak gerak cenderung lamban progressnya, berbeda jika menyangkut orang populer seperti VA,” ujarnya.


Karena itu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), berencana memberi penyuluhan terkait teknologi dan gender di Kepolisian. Staf Ahli Kominfo, Donny Budhi Utoyo mengatakan penyuluhan untuk membuat aparat penegak hukum tidak salah menafsirkan kasus yang melibatkan perempuan

Kata dia, penyuluhan dan koordinasi   dibutuhkan agar permasalahan KBGo tidak mangkrak atau berbalik menyerang korban.
 

“Nah kongkritnya kalau dari sisi hulu kita bisa kerjasama isu literasi digital, kita bikin, kita teruskan gerakan literasi digital berkreasi. Kita akan terus keliling ke polisi-polisi, mudah-mudahan kita bisa bantu bersama aparat penegak hukum jadi lebih paham isu teknologi. Dan tentu saja khususnya yang terkait gender based violence di internet. Yang harusnya dilibatkan juga oleh kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, kalau memang bisa ada taspos untuk penanganan sisi hilir tentu akan lebih baik,” ujar Donny, di Gedung Komisi Perempuan, Senin (28/01/2019).
 

Penyuluhan dan pelatihan kepada kepolisian sudah mulai dilakukan oleh Kominfo sejak 2018. ada sekitar 13 Polda dan 17 Polres yang pernah mendapat penyuluhan terkait cyber crime. Namun muatan gender belum masuk didalamnya. Kata donny setelah berdiskusi dengan SAFEnet dan beberapa lembaga khusus perempuan, maka muatan gender akan dimasukan dalam penyuluhan tersebut.
 

“Sudah ada tahun 2018, kita beri penyuluhan ke 12 ribu anggota kepolisian. Tapi itu untuk kasus hoax, perdagangan dan penipuan seperti pinjaman online. Untuk itu kami butuh masukkan seperti in. Jadi kami tahu apa yang harus masuk lagi, seperti misalanya muatan gender itu penting juga. Kami berharap, LSM atau NGO bisa mengajak kami berbincang untuk tukar pendapat terkait masalah yang ada. Kalo pemerintah memang lebih kaku dan baku harus sesuai prosedural,” ujar Donny.
 
Editor: Rony Sitanggang

  • kekerasan seksual
  • perundungan
  • Kominfo
  • Korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • zenith4 years ago

    Halo,    Kami memberikan segala jenis pinjaman seperti pinjaman siswa, pinjaman hutang, pinjaman bisnis, pinjaman pribadi dan lainnya.    Apakah Anda sudah mencari pinjaman yang mudah dan cepat? jika ya silakan hubungi melalui email: [email protected]    Tuhan memberkati.