BERITA

Puluhan Ribu Orang dengan HIV terancam Jiwanya, Ini Penyebabnya

Puluhan Ribu Orang dengan HIV terancam Jiwanya, Ini Penyebabnya

KBR,Jakarta-   Jiwa puluhan ribu  pengidap HIV/AIDS di Indonesia terancam. Penyebabnya, persediaan  obat anti retroviral (ARV) bagi mereka hanya tersedia hingga Maret mendatang. Penyebabnya kata Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia AIDS Coalition,  Kementerian Kesehatan (Kemenkes) gagal dalam pengadaan obat    karena PT Kimia Farma dan PT Indofarma Global Medika menolak Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan Kemenkes.

"Ini saya agak sedih BUMN sebagai sayap perusahaan negara yang seharusnya berpikir akan fungsi sosial bukan berpikir profit kemudian Mereka tidak mau menurunkan harganya. Maka nya kemudian tender di tahun lalu itu gagal," kata Aditya Wardhana.

Hingga berita ini diturunkan KBR sudah mencoba menghubungi perusahaan farmasi tersebut, namun belum mendapatkan respon.

Aditya melanjutkan bahwa gagalnya proses pengadaan obat ARV FDC jenis Tenofovir, Lamivudin, Efavirenz (TLE) maka Kemenkes mengembalikan anggaran Rp 340 Miliar kepada Kementerian Keuangan.  Kemenkes mengambil langkah cepat dengan melakukan emergency procurement dengan menggunakan dana bantuan Global Fund dan membeli langsung ke India.

"Sudah sampai ke Jakarta awal Desember dengan jumlah 220.000 botol dan itu hanya cukup sampai bulan Maret 2019. Stok obat ARV jenis FDC TLE setelah bulan Maret 2019 masih tanda tanya proses pengadaan dengan menggunakan dana APBN masih terus terganjal," ujarnya.


Aditya mengatakan gagalnya pengadaan obat ARV   akan berdampak pada meningkatnya kematian.

Senada disampaikan  Yayasan Pelita Ilmu (YPI) yang mendampingi para ODHA.  Ketua YPI, dr. Toha Muhaimin mengatakan jika imbas gagal tender tersebut sampai pada tahap penghentian suplai obat, maka para penderita bisa terinfeksi penyakit lebih parah dan membahayakan jiwanya.

"Karena orang yang makan obat itu ditekan perkembangannya, tidak hilang. kalau obat untuk menekan perkembangan virus itu distop, ini virusnya bisa berkembang biak lagi sehingga bisa terjadi penurunan daya tahan tubuh yang berlebihan, sehingga gampang terinfeksi penyakit lain. yang disebut penyakit opportunistik. Normalnya tidak bahaya, tapi pada orang yang imunitasnya turun itu jadi bahaya," ujar Toha, saat dihubungi KBR, Kamis (10/01/2019).


Toha mengatakan jika penderita tidak mengkonsumsi ARV atau telat mengkonsumsinya maka, akan membuat pemulihan kestabilan daya tubuhnya mengulang seperti pertama kali mengkonsumsinya. Sehingga menurut Toha, pemerintah harus memperhatikan hal tersebut dan mengantisipasi hal yang lebih buruk terjadi.


"Yang butuh ARV ini masif ya, jumlahnya banyak. jadi mau atau tidak, pemerintah harus menyediakan. Kalau beli sendiri kan harganya lumayan mahal, kasian buat yang tidak mampu. Buat ongkos belinya saja kadang mereka harus mikir, sekarang ditambah lagi kalau harus beli obat tambah berat," ujar Toha.


Ia juga sempat mempertanyakan bantuan dana Global Fund yang rencananya akan dihentikan. Menurutnya adanya dana tersebut sangat membantu para penderita HIV dan penyakit lain seperti TBC yang mayoritas diderita oleh masyarakat tidak mampu.

Pengidap HIV asal Jakarta, Acep Saifudin menilai Pemerintah Indonesia tak mampu mengatasi berbagai persoalan HIV/AIDS di Indonesia. Apalagi kata dia,   ODHA di Indonesia masih kerap mendapat perlakuan diskriminasi dari  mulai dari kebijakan pemerintah hingga stigma yang melekat di Masyarakat.

"Contohnya dana global dihentikan karena indonesia sudah dianggap ada di middle class untuk perekonomian. Artinya Indonesia dianggap mampu. Misalnya untuk penyediaan obat yang memang harus ditanggung negara. Masalahnya Indonesia sepertinya tidak mampu melakukan itu," kata Acep kepada KBR, Kamis (10/1/2019).


Saat mengetahui adanya potensi kekurangan obat ARV karena tender gagal, Acep mengaku khawatir. Menurutnya, obat ARV bagi ODHA merupakan hal yang sangat penting. Pasalnya,   ARV harus diminum setiap hari untuk memperlambat virus HIV berkembang dalam tubuh. Ia menilai Pemerintah bersikap tak adil jika sampai pasokan ARV terganggu sehingga berdampak pada pengobatan banyak pasien HIV/AIDS.


"Saya minum ARV setiap hari, itu sangat membantu untuk ODHA. Pemerintah harusnya menyadari bahwa ODHA juga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak," ujarnya.  

Menanggapi kekuatiran itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengaku adanya kegagalan tender terhadap pengadaan obat Antiretroviral (ARV).  Kendati demikan, Kemenkes mengklaim telah mengantisipasi ketersediaan selama 10 bulan.

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Engko Sosialine Magdalene mengatakan, bagi orang pengidap bisa menggunakan jenis lepasan sebagai alternatifnya.


"Setelah kami hitung dengan ketersediaan pada saat bulan Desember sampai dengan 10 bulan kedepan ketersediaan tidak menjadi masalah, empat bulan bisa menggunakan fixed dose combination (FTC),  enam bulan bisa menggunakan lepasan," kata Engko Sosialine di Kantor Kemenkes, Jakarta. Kamis (10/01/2019).


Engko mengatakan, meski ada penambahan pasien Odha, keterbatasan   FTC tidak menjadi masalah bagi pemerintah. Dia mengklaim telah mengantisipasi dan memperhitungkan ketersediaan ARV.  

Editor: Rony Sitanggang



 

  • hiv/aids
  • obat ARV
  • Kimia Farma
  • Indofarma Global Medika

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!