RAGAM

Komitmen Memensiunkan PLTU Batubara Perlu Ditingkatkan

"Praktik pembangunan pembangkit listrik yang menjadi proyek strategis nasional yang banyak menimbulkan konflik perlu dijadikan evaluasi untuk pembangunan energi bersih ke depannya."

Iqbal Rizqy Ramadhan

Komitmen Memensiunkan PLTU Batubara Perlu Ditingkatkan
Ilustrasi Foto (Sumber : ICEL)

KBR, Jakarta – Berdasarkan Penerbitan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Perpres No. 112 Tahun 2022) merupakan langkah positif untuk mendorong transisi sistem ketenagalistrikan yang bersih, rendah karbon, dan ramah lingkungan. Selain berfungsi mendorong PLN untuk menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang memperhatikan target bauran energi terbarukan, Perpres tersebut juga mendorong pengutamaan pembelian tenaga listrik dari sumber-sumber terbarukan.

Namun, komitmen pemensiunan PLTU Batubara dalam Perpres tersebut masih belum ambisius mengingat kondisi ketenagalistrikan beberapa waktu belakangan, apalagi beberapa grid, utamanya Pulau Jawa sudah over supply, sehingga tanpa ada pemensiunan pembangkit-pembangkit fosil, maka pengembangan energi terbarukan berpotensi terhambat.

Di samping inisiatif dari Perpres No. 112 Tahun 2022 yang sudah mengatur pemensiunan PLTU, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mencatat beberapa hal dari Perpres tersebut yang perlu untuk dikritisi lebih lanjut.

Pertama, Perpres No. 112 Tahun 2022 tetap mengizinkan pembangunan PLTU baru. PLTU-PLTU yang masih di izinkan untuk didirikan di antaranya adalah PLTU yang sudah ditetapkan dalam RUPTL sebelum berlakunya Peraturan tersebut. Selain itu, PLTU yang terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional juga diperkenankan untuk dibangun dengan syarat berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca, dan beroperasi maksimal sampai 2050.

“Berdasarkan RUPTL PLN 2021-2030 saja masih terdapat 37 PLTU baru. Itu baru dari RUPTL PLN, belum menghitung PLTU-PLTU di wilayah usaha lain yang datanya sulit untuk dapat diakses publik. Selain itu, beberapa dari PLTU ini juga terbukti gagal mendapatkan pendanaan, dan tidak kunjung dibangun. Kami menilai Perpres No. 112 Tahun 2022 sepatutnya menjadi momentum juga untuk meninjau kembali seluruh RUPTL wilayah usaha selain PLN.” Ujar Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL.

Selain itu, penggantian pembangkit yang diakhiri operasinya juga tidak tegas, dengan hanya menyebutkan "dapat digantikan dengan pembangkit Energi Terbarukan” alih-alih secara tegas mewajibkan penggantian dengan energi terbarukan.

Selain itu, pertanggung jawaban lingkungan hidup juga tetap perlu dimintakan “Jangan sampai penutupan PLTU ini menghilangkan pertanggungjawaban pemilik pembangkit. Hingga saat ini, cukup banyak PLTU yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang tidak hanya berdampak besar bagi lingkungan, namun juga merugikan masyarakat. Tanggung jawab untuk memulihkan maupun penyelesaian konflik tentu perlu diselesaikan dan dipertanggungjawabkan sebelum PLTU dipensiunkan.” Ujar Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL.

“Terakhir, kami berharap percepatan pembangunan Energi Terbarukan tidak membuat jaring pengaman lingkungan dan HAM dikesampingkan. Praktik pembangunan pembangkit listrik yang menjadi proyek strategis nasional yang banyak menimbulkan konflik perlu dijadikan evaluasi untuk pembangunan energi bersih ke depannya.” Ujar Grita.

Baca juga: Warga Indramayu Pantang Surut Tolak PLTU Batubara - SAGA KBR

Editor: Paul M Nuh

  • adv
  • batu bara
  • pltu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!