DARI POJOK MENTENG

Magang Mahasiswa UI: Diintimidasi saat Meliput

"Harus berani ambil resiko."

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Sebanyak 12 mahasiswa dari Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI melakukan tugas magang di KBR dan PortalKBR selama dua bulan, mulai Juni-Agustus 2014. Selama magang mereka diterjunkan langsung ke lapangan untuk meliput dan mengabarkan informasi kepada Anda semua. Ini dia pengalaman mereka saat magang di Utan Kayu. 

Tanpa terasa saya telah menghabiskan sekitar enam puluh hari menjadi bagian dari reporter di Kantor Berita Radio (KBR), Utan Kayu. Bagi saya ada dua momen diantaranya yang berkesan dan terngiang-ngiang. Penasaran?

Pertama kalinya bertugas di lapangan, saya tandem dengan kak Wik-reporter KBR- dan harus sampai pukul 09.00 WIB di KPK, Kuningan Madya pada 18 Juni lalu. Sesampainya di sana, saya titip KTP ke resepsionis agar dapat kartu Pers dari KPK. Tentunya agar bebas keluar-masuk ruang pers. 

Saya mencoba menulis berita soal kasus suap Bupati Papua Numfor Biak, Yesaya Sombuk, di Kementerian Kehutanan dengan pengusaha swasta Teddy Renyut. Teddy datang ke KPK sekitar 10.00 WIB, dan wartawan lain buru-buru doorstop. Itu pertama kalinya saya menghadang narasumber dan langsung melontarkan senarai pertanyaan (doorstop). Lalu, saya dibimbing menulis naskah berita radio berupa preview. Laporan itu dikirim dengan rekaman suara saya, dan beritanya ternyata disiarkan. Alhamdulillah! 

Tak kalah menarik tampak pada suasana para wartawan di ruang khusus pers KPK. Mereka sudah lama stay di KPK sehingga saling mengenal satu sama lain. Dalam ruangan, ada pula TV datar layar besar dan Playstation 3 (mereka membelinya secara patungan lho!). Biasanya pagi-pagi, humas KPK menempelkan jadwal penyidikan tersangka atau saksi kasus korupsi di ruang pers. 

Kalau soal “ada apa di Kantor Transisi” seperti ini kronologinya; awalnya target saya mengeksekusi beberapa pertanyaan dari titipan kantor kepada narasumber yang dituju. Namun, narasumber itu sulit diwawancarai. Akhirnya daripada tidak mendapat keterangan sama sekali, saya lantas melontarkan pertanyaan titipan saat doorstop salah satu deputi.

Waktu itu, saya mengkonfirmasi: jadi memang tidak ada sokongan dana dari oknum kasus korupsi migas? Lalu, deputi itu menjawab tidak tahu. Tak lama, saya dipanggil X yang mengaku sebagai orang dalam. Si X bertanya identitas saya, apa yang barusan saya tanyakan, dan memperoleh keterangan itu darimana. Kemudian saya jawab apa adanya. Anehnya, tidak ada pewarta lain yang ditanyai seperti saya. Di sela-sela si X menjelaskan jika keterangan saya keliru, dia menyatakan kalau saya menyinggung hal tersebut lagi, saya bisa tidak diperbolehkan meliput di sekitar tempat itu. Kemudian saya meminta maaf kepada si X dan akan mengecek kembali data yang ada.

Setelah kejadian itu, saya pikir posisi saya salah, namun justru sebaliknya. Saya berhak bertanya kepada narasumber selagi berdasar pada fakta. Barulah saya sadar jika hari itu benar-benar mengalami rasanya terintimidasi saat meliput. Dari situ, saya belajar kalau menjadi jurnalis itu perlu dinikmati tetapi harus ekstra hati-hati. Toh, itulah jurnalis; pekerjaan yang mengandalkan pikiran jernih, berhati, tidak mudah putus asa, sekaligus sikap berani ambil resiko. 

  • Magang UI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!