ASIACALLING

Perjuangan Petani Rumput Laut NTT Pasca Delapan Tahun Tragedi Montara

Ferdi Tanoni dan Jane Hammond. (Foto: KBR)

Pasca tumpahan minyak terbesar di Australia, Senator Partai Hijau Rachel Siewert, langsung terbang meninjau ladang minyak Montara. Jaraknya 250 kilometer dari pantai barat laut Australia. Dia melihat tumpahan minyak dalam jumlah besar sampai melewati cakrawala.8

Pada saat bersamaan, muncul laporan soal penyakit mendadak, ikan, lumba-lumba dan rumput laut yang mati di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT). Delapan tahun kemudian, masyarakat di sana masih menderita akibat tumpahan minyak itu dan terus mencari keadilan.

Kisah mereka ini didokumentasikan dalam film berjudul A Crude Injustice. Nicole Curby bertemu pembuat film Jane Hammond di Jakarta.

Tahun 2009, ribuan barel minyak tumpah dari sumur pengeboran di perairan Australia. Selama 74 hari, minyak tertumpah ke laut.

Minyak itu kemudian menyebar ke perairan Indonesia dan menimbulkan dampak yang menghancurkan lingkungan laut, mata pencaharian petani rumput laut dan nelayan di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Perusahaan pemilik ladang minyak, PTTEP, menyangkal tumpahan minyaknya sampai ke NTT dan mengklaim tidak bertanggung jawab atas penderitaan masyarakat di sana. Tapi sejak awal, jurnalis dan pembuat film Jane Hammond bisa melihat ada hal yang ditutupi.

“Yang mengejutkan saya sejak awal adalah perusahaan itu bilang ini terjadi di daerah gurun di bawah laut. Itu istilah yang saya pikir mereka gunakan saat itu. Tapi sekarang, dengan terlibat dalam isu lingkungan dan sangat mencintai laut dan tahu ilmu lingkungan, saya tahu bukan itu yang terjadi, tutur Jane. 

“Yang terimbas adalah lingkungan yang kaya dan beragam. Dan ini membuat saya bertanya-tanya apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dan mengapa.”

Kini, delapan tahun kemudian, masyarakat NTT masih berupaya bangkit akibat dampak tumpahan minyak itu.

Ferdi Tanoni adalah seorang pengusaha kecil dari Kupang. Dia mengamati dampak dari tumpahan minyak terhadap penduduk setempat dan dengan gigih berjuang agar mereka dapat keadilan.

“Ini bukan saja masalah lingkungan tetapi yang jauh lebih penting adalah masalah kemanusiaan dimana mata pencaharian daripada lebih dari 100 ribu masyarakat pesisir miskin yang kehilangan mata pencahariannya akibat pencemaran ini,” jelas Ferdi. 

Masyarakat NTT harus berurusan dengan racun ganda. Tumpahan minyak dan dispersant yang disemprotkan Australia Maritime Safety Authority ke laut setelah tumpahan minyak menyebar.

Dispersant mengurai tumpahan minyak yang sangat banyak itu menjadi partikel yang lebih kecil tapi tidak menghilangkannya. Minyak-minyak itu kini mengandung bahan kimia beracun yang diduga menjadi penyebab menurunkan tingkat kesehatan masyarakat.

“Data yang saya punya lebih dari 25 orang meninggal. Nelayan dan petani rumput laut yang setiap hari berkontak dengan laut dan meninggal secara mendadak dan penyakit yang sangat aneh. Strange disease ya. Gatal-gatal, muntah-muntah, pendarahan sampai meninggal,” kata Ferdi. 

Selain itu, sejak tumpahan minyak tahun 2009 menyebar, rumput laut di Timor pun ikut mati. Padahal ini adalah sumber pendapatan yang menguntungkan bagi penduduk setempat. 

“Rumput laut pada satu ketika sebelum 2009, itu orang-orang di NTT selalu menyatakan bahwa itu adalah emas hijau. Karena harga rumput laut perkilonya mencapai 25 ribu. 22 ribu -25 ribu per kilogram. Sehingga mereka bilang itu emas hijau.”  

Emas hijau inilah yang membawa masyarakat di sana keluar dari kemiskinan. Mereka bahkan bisa memasukkan anak-anak mereka ke Perguruan Tinggi. Tapi setelah tumpahan minyak, itu semua tiba-tiba berakhir.

Jane bilang ketidakadilan itulah yang mendorongnya untuk membuat film dokumenter ini.

“Salah satu keprihatinan saya adalah anak-anak yang putus sekolah. Sebagai ibu tiga anak dan bekas guru ini sangat menggangu saya. Anak-anak itu kehilangan kesempatan bersekolah karena orangtua mereka tidak mampu membiayai. Itu semua karena tumpahan minyak ini,” kata Jane. 

“Saya membuat film dokumenter ini untuk memberi tahu masyarakat Australia tentang apa yang sudah dilakukan industri minyak dan pemerintah Australia.”

Senator Partai Hijau Australia, Rachel Siewert, setuju kalau pemerintahnya ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang disebabkan oleh tumpahan itu.

“Pemerintah Australia adalah regulator dan badan yang mengawasi proses regulasi. Dan jelas, negara yang memberikan izin dan sumurnya berada di perairan Australia. Jadi kami pikir pemerintah Australia ikut terlibat. Maka adil rasanya bila masyarakat menerima kompensasi atas kerugian yang mereka alami,” kata Rachel.

Pada 2016, lebih dari 15 ribu orang dari Timor Barat melakukan class action ke pengadilan Australia. Mereka menuntut kompensasi dua triliun rupiah. Sementara itu pemerintah Indonesia juga berencana menuntut perusahaan minyak PTTEP atas kerusakan lingkungan yang terjadi. 

Tapi proses pengadilan bisa makan waktu bertahun-tahun. Jane berharap film A Crude Injustice bisa membantu mendorong perusahaan itu menyelesaikan kewajibannya.

“Kami menekan Menteri Luar Negeri Australia untuk segera membawa pihak yang terlibat dalam perundingan. Sehingga orang-orang yang hidupnya terkena dampak tidak perlu menunggu tujuh tahun lagi. Anak-anak mereka bisa segera bersekolah jika mereka sudah mendapat kompesasi. Tapi sejauh ini perusahaan belum membayar sepeser pun,” kata Jane.

 

  • Nicole Curby
  • Tragedi Montara
  • Indonesia
  • Laut Timor
  • Tumpahan Minyak
  • A Crude Injustice

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Yori6 years ago

    Kami berharap pemerinta indonesia tdak mengala untu melepaskan masyarakat yang terkena dampak montara.saya sebagai penduduk rotendao sangat pikiran karna kami akan putus sekolah jika masala ini tdak cepat selesai.