DARI POJOK MENTENG

Ismail Marzuki, Sang Maestro Romantik Heroik

Ismail Marzuki, Sang Maestro Romantik Heroik

Lagu “Juwita Malam” terhitung laris manis diaransemen ulang. Ada Slank yang mempopulerkan lagu ini di album P.L.U.R, sekaligus untuk OST film “Banyu Biru”, lalu ada Bebi Romeo di album “Wanita” serta Naif untuk OST film “Rumah Maida”. Ini menunjukkan betapa Ma’ing sangat dikagumi oleh angkatan musisi generasi muda. Selain itu, ini juga memperlihatkan betapa hasil karya Ma’ing ini tak lekang dimakan zaman. Ma’ing adalah nama panggilan Ismail Marzuki, komponis Indonesia yang meracik hampir 250 lagu dalam 27 tahun proses kreatif produktifnya. 


Ada banyak lagu yang dibuat oleh Ma’ing lalu dipopulerkan oleh musisi muda. Slank, misalnya, dipercaya menulis lirik dari partitur musik yang dibuat Ma’ing sebelumnya. Lagu ini akhirnya diberi judul “Oh Ayah Aku Ingin Kawin”. 


Ada juga lagu tentang laki-laki dan perempuan yaitu “Sabda Alam”, yang diaransemen oleh anak-anak muda jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yaitu White Shoes and The Couples Company. Almarhum Ebet Kadarusman pernah membawakan lagu ini pada tahun 1956. Ebet bahkan menjadikan lagu “Payung Fantasi” karya Ma’ing sebagai theme song di program yang diasuhnya pada era 1990an, yaitu “Salam Canda”


Contoh lain lagi adalah lagu humor heroik “Sersan Mayorku” yang didaur ulang oleh Bandanaira (Lea Simanjuntak dan Irsa Destiwi), juga lagu “Kopral Jono” yang sempat dinyanyikan Henny Purwonegoro dan diaransemen oleh pianis Indonesia, Nial Djuliarso di album “The Jazz Soul of Ismail Marzuki”. Nial adalah musisi lulusan Berklee College of Music dan Juilliard School yang sudah dikenal dikalangan musisi Jazz di New York, Amerika. Almarhum Bubi Chen, pianis jazz Indonesia, juga mengakui kepiawaian Ma’ing, melalui arransemennya pada lagu “Saputangan dari Bandung Selatan”.


Ayah Ma’ing bernama Marzuki, seorang Betawi intelek yang berpikiran maju. Ia mendorong supaya putranya tidak kehilangan kepekaan terhadap nasib bangsanya dan berkembang tanpa dikotak-kotakkan oleh golongan dan suku. Pengaruh dari ayahnya inilah yang menjadi salah satu faktor banyaknya lagu bertemakan perjuangan yang ia ciptakan. 


Sang ayah menurunkan bakat seni pada anaknya. Marzuki adalah seorang yang gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. Sang ayah pula yang membelikan piringan hitam dan gramafon, yang populer disebut sebagai ‘mesin ngomong’ oleh masyarakat Betawi tempo dulu. Lebih dari itu, hampir pada setiap kenaikan kelas, Ma’ing selalu dibelikan alat musik baru diantaranya harmonika, mandolin, dan gitar.


Ma’ing sudah menguasai banyak alat musik saat usianya masih muda,seperti gitar, piano, accordion, ukulele, rebab, harmonika, dan biola. Dengan kecerdasan yang dimiliknya, Ma’ing juga menguasai 2 bahasa asing pada waktu itu, yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda. Lagu pertama yang ia ciptakan berjudul “O Sarinah”, yang liriknya menggunakan bahasa Belanda, saat ia berusia 17 tahun. Pesan dari lagu itu bukan hanya tentang seorang wanita, tetapi juga lambang bangsanya yang ditindas oleh penjajah.


Kemampuan bermusiknya berkembang pesat saat ia masuk ke perkumpulan orkes Lief Java, di bawah arahan Hugo Dumas. Bagaikan seorang pesepakbola muda yang semakin terasah kemampuannya saat sering dimainkan oleh pelatih secara reguler,demikian pula halnya dengan Ma’ing yang banyak diberikan kesempatan untuk mengambil peranan penting dalam orkes tersebut, seperti mengarransemen dan menggubah lagu, juga secara reguler. Dia juga banyak tampil di acara radio dan pentas – pentas lainnya.


Proses karir bermusik Ma’ing dibagi menjadi 2 periode besar. Periode yang pertama adalah periode Hindia-Belanda. Pada jaman ini , karyanya banyak dipengaruhi oleh jenis musik yang populer  pada waktu itu, seperti jazz, seriosa, dan keroncong. Kondisi ini memicu tembang – tembang berikut muncul,yaitu : Keroncong Serenata, Kasim Baba, Bandanaira, dan Lenggang Bandung. 


Periode yang kedua adalah periode penjajahan Jepang, dan perang kemerdekaan. Periode ini Ma’ing aktif di orkes radio Jepang. Pada periode ini lahir tembang perjuangan yang selalu menjadi lagu penutup stasiun televisi TVRI pada era Soeharto yakni ‘ Rayuan Pulau Kelapa’ , ‘Sepasang Mata Bola’, Melati di Tapal Batas ( kisah tentang srikandi yang meninggalkan keluarganya demi tanah air), dan tidak ketinggalan lagu yang cukup sering dikumandangkan saat pentahbisan sarjana (wisuda) yaitu ‘Selamat Datang Pahlawan Muda’. Lain daripada itu, awal Juni 2012,  karyanya yang berjudul ‘Bunga Anggrek’, juga digunakan sebagai OST dari film ‘ Soegija,100 % Indonesia’, yang diangkat dari novel Ayu Utami, arahan sutradara Garin Nugroho.


Ma’ing menikah dengan Eulis Zuraidah, seorang penyanyi dan pemimpin grup keroncong Sunda. Mereka memiliki seorang anak angkat yang bernama Rachmi Aziah. Saat RRI direbut oleh penjajah, dia memilih mogok kerja (tidak tampil di acara RRI) yang akhirnya berimbas pada minimnya penghasilan yang diperoleh. Ia rela hidup susah bersama istrinya, daripada bekerja untuk kepentingan penjajah.


Ma’ing dan istrinya sempat tinggal di Bandung. Hal itu disebabkan rumah mereka yang berada di Jakarta terkena peluru mortir. Ketika berada di Bandung Selatan, ayahnya, Marzuki, meninggal dunia. Ia terlambat menerima berita tentang kematian ayahnya. Kejadian ini sangat memukul dirinya. Beberapa hari setelah pemakaman sang ayah, ia baru sampai di Jakarta. Kembang – kembang yang menghiasi makam ayahnya telah layu, situasi itu yang akhirnya mengilhaminya untuk menciptakan tembang “Gugur Bunga”.


Selain lagu – lagu perjuangannya yang mahsyur, Ma’ing juga menciptakan salah satu lagu bertemakan agama yang jenaka. Judulnya “Selamat Lebaran”. Bagian akhir lagu ini, liriknya berisi sindiran terhadap gaya hidup ‘orang – orang kota’ merayakan lebaran. 


Sentilan itu berbunyi: 


Cara orang kota berlebaran laen lagi/Kesempatan ini dipake buat berjudi/Sehari semalem maen ceki mabuk brendi/Pulang sempoyongan, kalah maen, pukul istri/…


Lagu-lagu di atas adalah bukti bahwa Ismail Marzuki alias Ma’ing mampu menciptakan beragam jenis lagu. Tidak kalah dengan beragam jenis instrumen yang ia kuasai. 


Suatu hari karena kepiawaiannya yang mampu memainkan beragam jenis instrument tersebut, ia diberi hadiah alat musik, yaitu saxophone oleh seorang temannya. Tanpa disadarinya, ternyata teman yang memberikan alat musik tiup tersebut, telah terjangkit penyakit paru-paru. Dari peristiwa itulah penyakit paru-paru menjangkitinya seumur hidupnya, sampai ia meninggal dunia. 


Sang Maestro penggubah lagu-lagu heroik romantik dimakamkan di Kampung Bali,Tanah Abang, pada tanggal 25 Mei 1958 di usia yang masih terbilang muda, 44 tahun.


Tulisan diatas adalah pengantar untuk Program Winning Eleven edisi 27 Juni 2014 yaitu Ismail Marzuki – seorang musisi yang berasal dari kota Jakarta, yang berulang tahun pada 22 Juni. 



Penulis adalah Music Director Green Radio 89,2 FM dan penanggung jawab program.

  • Ismail Marzuki
  • Winning Eleven

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!