KABAR BISNIS

[Advertorial] UU Jaminan Fidusia Berikan Perlindungan Hukum kepada Debitur

[Advertorial] UU Jaminan Fidusia Berikan Perlindungan Hukum kepada Debitur

Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Daulat Pandapotan Silitonga mengatakan Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sudah berusia 20  tahun. Jaminan fidusia yang bersifat accesoir merupakan landasan hukum terhadap perjanjian kredit, hal ini sangat memperhatikan kepentingan debitur dengan memberikan jaminan hukum kepada benda bergerak atau kendaraan yang dikredit dari kreditur (perusahaan pembiayaan). 

“Jaminan yang lahir karena perjanjian adalah jaminan yang harus diperjanjikan terlebih dahulu di antara para pihak, yaitu perjanjian yang mengikuti dan melihat pada perjanjian dasar atau perjanjian pokok yang menerbitkan utang atau kewajiban atau prestasi bagi debitur terhadap kreditur,” kata Daulat.

Pada Pasal 14 ayat 3 UU dijelaskan, “Jaminan fidusia berbunyi jaminan lahir saat dilakukan pendaftaraan jaminan fidusia.” Pernyataan dalam UU tersebut bisa dimaknai, apabila jaminan fidusia belum didaftarkan maka kreditur (perusahaan leasing/pembiayaan) belum memiliki hak jaminan fidusia termasuk hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang sedang dijaminkan. Hal ini tentunya memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada  para pihak melalui lembaga pendaftaran fidusia. 

“Meski tujuan pengaturan lembaga jaminan khusus kebendaan (fidusia – red) utamanya guna melindungi kepentingan kreditur sebagai penyedia dana dalam perjanjian pinjam meminjam, namun kententuan yang terdapat di UU Jaminan Fidusia tetap memperhatikan kepentingan para pihak secara seimbang termasuk kepentingan debitur,” jelasnya.

Dia mengungkapkan lembaga jaminan fidusia juga memberikan perlindungan kepada benda bergerak atau kendaraan yang sedang di kredit oleh debitur tidak bisa dieksekusi oleh kreditur kecuali dalam hal debitur wanprestasi. Kewenangan melakukan eksekusi baru bisa dilakukan oleh kreditur apabila debitur melakukan wanprestasi dengan memperhatikan Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata. 

Selain itu, tambah dia, UU Jaminan Fidusia tidak memberikan kewenangan kepada kreditur untuk melakukan upaya paksa atau mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia secara paksa dari tangan debitur tanpa bantuan pihak berwenang seperti pengadilan atau kepolisian. Dalam rangka eksekusi fidusia, Kapolri sendiri sudah mengeluarkan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2011 tentang pengamanan eksekusi jaminan fidusia yang sudah berlaku sejak 22 Juni 2011.

Untuk melakukan upaya paksa, Daulat menambahkan UU memberikan alternatif bagi kreditur yang memerlukannya melalui pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1a) UU Jaminan Fidusia. 

“Oleh karenanya tafsir yang salah terhadap ketentuan parate eksekusi tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan judicial review,” jelasnya.

Tak hanya itu, perlindungan lain yang diberikan oleh UU Jaminan Fidusia yakni larangan untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan dalam hal debitur wanprestasi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU Jaminan Fidusia.  Berdasarkan ketentuan l tersebut, objek jaminan hanya dimungkinkan untuk dijual atau dieksekusi jika debitur melakukan wanprestasi dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi kewajiban debitur jika ada sisa dari penjualan maka hasilnya harus  dikembalikan kepada debitur. 

“Jelas bahwa eksekusi dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban debitur sesuai dengan perjanjian, bukan merampas hak milik debitur secara semena-mena,” tutup Daulat.

  • kemenkumham

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!